Chapter 6 Vol 1 Ura Gyaru-chan no Adobaisu wa 100-Pāsento Ataru. "Datte Kimi no Suki na Seijo-sama, watashi no Koto Dakara ne."

 Chapter 6


Pov

Maid


Salam sejahtera. Saya adalah pelayan pribadi Omotegawa Yui-sama.

Silakan panggil saya “Maid-chan” saja dengan santai.

Sekarang, izinkan saya melaporkan perkembangan terkini. Belakangan ini, perilaku nona muda mulai menunjukkan banyak keanehan.

Misalnya soal pergi ke sekolah. Sering kali beliau mengubah penampilan seperti seragam dan gaya rambut saat berangkat dan pulang sekolah.

Karena Omotegawa Group bergerak di bidang apparel, menyediakan ruang ganti khusus bukanlah hal yang sulit. Malah, itu hal yang sangat mudah dilakukan.

Yang menjadi masalah adalah niat di baliknya. Apa tujuan sebenarnya?

Setelah saya selidiki, ternyata beliau kerap berpura-pura menjadi orang lain di kendaraan antar-jemput demi bisa berbicara dengan murid laki-laki.

Mengingat kedudukan beliau, awalnya saya mengira itu demi menyembunyikan identitas… namun──.

“Aku pulang~. Maid-chan ada di rumah~?”

Benar-benar seperti pepatah, baru saja dibicarakan, langsung muncul. Yui-sama telah pulang ke rumah.

Saat berangkat ke sekolah tadi, beliau tampil seperti seorang gal dengan seragam yang dimodifikasi, namun sekarang beliau kembali dalam wujud seorang putri bangsawan.

Penampilannya benar-benar seperti orang yang berbeda.

Beliau bahkan membedakan cara bicara dan intonasi suaranya, jadi tanpa mengetahui latar belakangnya, sangat sulit untuk menyadari bahwa itu orang yang sama.

“Selamat datang kembali, Maid-chan Anda selalu ada di sini untuk Anda.”

Dengan penuh rasa bahagia, aku melangkah mendekati nona muda. Tak perlu disembunyikan lagi—nona muda adalah “oshiku” ku, idolaku.

Hari ini pun beliau sungguh menawan. Jarang ada yang secocok ini dengan gaya rambut half-up kepang tiga.

Saat penampilan dan cara bicara beliau selaras, itu sudah luar biasa. Tapi, saat penampilan anggun bertabrakan dengan gaya bicara gal... itu benar-benar luar biasa panasnya!

“Maaf, tapi bisa tolong cuci ini agar tidak rusak? Aku ingin ini bisa di pakai selama mungkin.”

Beliau mengatakan itu sambil menyerahkan sesuatu berwarna putih dan hitam──,

“──Sapu tangan, ya?”

“Bisa aku titip?”

“Dengan segenap jiwa raga, saya akan mencurahkan seluruh kemampuan maid saya untuk tugas ini.”

“Eh, tidak usah sampai segitunya juga, sih.”

Wajah beliau menunjukkan ekspresi lelah campur pasrah. Tapi justru sisi yang terlihat sedikit terganggu itulah yang paling memikat.

Sebagai seseorang yang menghafal seluruh barang milik nona muda, aku segera menyadarinya.

Ini adalah sapu tangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Nona tidak terlalu peduli pada kepemilikan barang, dan jarang sekali menunjukkan ketertarikan terhadap benda-benda. Namun kini, beliau ingin menjaga sapu tangan baru ini dengan hati-hati.

Ada sesuatu yang mencurigakan di sini.

“…Apakah ini mungkin hadiah dari seseorang?”

“Eh? Ah—iya. Semacam itu, deh.”

“Apakah dari orang yang belakangan ini sering berbincang dengan Anda di kereta?”

Yui-sama terlihat terkejut sampai bahunya naik turun—seolah terdengar suara “gik!” saking kagetnya. Oh? Sepertinya tepat sasaran, ya.

Di tempat umum, sang nona tak pernah menunjukkan kelemahan, namun dalam kehidupan pribadinya, ekspresinya jauh lebih terbuka—hal ini sudah jadi pengetahuan umum di kalangan para pelayan.

“Maaf jika lancang, namun saya rasa akan lebih baik jika Anda berhenti mempermainkan rakyat jelata yang polos.”

Dengan berat hati, aku menegur beliau dengan tegas.

Jika dibandingkan antara informasi yang telah saya telusuri dan perilaku beliau akhir-akhir ini, bisa diperkirakan bahwa Yui-sama tengah melampiaskan stres dengan menggoda seorang murid laki-laki biasa.

Dan beliau melakukannya dengan telaten, membedakan sepenuhnya antara persona putri bangsawan dan gal.

Padahal, bila beliau hanya butuh tempat untuk meluapkan rasa frustrasi… saya siap menjadi tempatnya. Silakan hina saya sebanyak yang Anda mau.

Tatapan dingin dan penghinaan dari nona muda…

Sungguh membuat saya bersemangat—uhuk. Maaf, saya terlalu larut. Kembali ke topik.

Sebenarnya, saya ingin selalu mendukung apapun yang dilakukan oleh sang oshiku, tapi sayangnya, tugas saya yang utama tetaplah sebagai pelayan.

Meskipun harus dibenci, tugas saya adalah menjalankan kewajiban saya dengan sepenuh hati.

Tentu saja, saya bisa sedikit memahami perasaan ingin lari ke hobi yang mungkin tidak layak dipuji.

Tekanan hidup sebagai putri dari keluarga besar seperti Omotegawa Group pastilah tak terbayangkan. Stres yang menumpuk pun pastinya luar biasa.

Jadi, keinginan untuk sedikit bersantai atau mencari pelarian, bukanlah hal yang aneh.

Namun… melampiaskan dengan menggoda murid laki-laki yang terlihat baik hati—itu sesuatu yang tak bisa begitu saja kuabaikan.

Jika terjadi sesuatu nanti, semuanya akan terlambat.

“K-karena dia tuh selalu ngasih reaksi yang pas banget sih, kayak ngerti apa yang aku butuhin…”

Oh? Kenapa tiba-tiba memalingkan pandangan?

Aneh sekali. Saya kira beliau akan membalas dengan reaksi khas saat ketahuan berbuat nakal—semacam, “Itu bukan urusanmu, kan?”—tapi ternyata…

Mengapa beliau terlihat malu seperti itu?

“Kalau nanti nona muda mulai bosan, bisa saja dia—yang sekarang terlihat sopan itu—jadi benar-benar serius. Setidaknya, situasinya sudah berkembang sampai dia memberi hadiah. Dalam skenario terburuk, dia bisa jadi kehilangan kendali—”

“—Otaku-kun bukan orang seperti itu.”

Ups. Sepertinya aku menginjak ekor harimau. Suaranya terdengar dua nada lebih rendah dari biasanya.

Kali ini malah beliau menatap lurus ke arahku.

Rasa malu tadi berubah jadi kemarahan yang tenang. Kalau dilihat dari situasinya, besar kemungkinan beliau marah karena orang yang diajak bicara itu dikatakan buruk.

Hmmmmmm?

“Tentu saja, saya percaya pada kemampuan nona muda dalam menilai seseorang. Namun, laki-laki dan perempuan… kadang bisa melakukan kesalahan yang tak terduga—”

“Hei! Jangan bilang hal aneh kayak ‘laki-laki dan perempuan’! Ini bukan tentang cinta atau semacamnya, serius, bukan kayak gitu!”



Oh, oh, oh? Apakah hanya perasaan saya saja, atau nona muda terlihat sedikit senang barusan?

Perubahan emosinya begitu cepat… rasanya seperti menghadapi cuaca di pegunungan.

Sebagai seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi pelayan, ini adalah pertama kalinya saya melihat ekspresi seperti itu dari nona muda.

…Begitu ya. Sepertinya ini akan menjadi sesuatu yang menarik.

Kalau ini hanyalah hobi buruk untuk mempermainkan anak laki-laki yang polos, saya sudah berniat untuk menghentikannya, meskipun harus dibenci. Tapi tampaknya, itu hanya kekhawatiran saya saja.

Karena pekerjaan seorang pelayan sangat berat, banyak dari kami yang kelaparan akan hiburan.

Bahkan saya yang hidup demi mengurus nona muda pun tak terkecuali. Terkadang, saya juga menginginkan sedikit kejutan dalam hidup.

Kalau dipikir-pikir lagi, ini adalah pertama kalinya nona muda secara aktif menjalin interaksi dengan lawan jenis.

Mungkin mereka benar-benar cocok, sampai-sampai nona muda sendiri yang ingin mendekati. Saya sungguh penasaran dengan perubahan suasana hatinya.

Bagaimanapun juga, satu hal sudah jelas—nona muda mulai benar- benar tertarik.

Jika ini bukan kenakalan yang penuh risiko, melainkan hubungan yang sehat, maka wajar saja bila seorang penggemar ingin mendukungnya.

Bukan berarti saya berpikir telah menemukan hiburan terbaik atau semacamnya, tentu tidak, ya?

“Kalau begitu, hari ini kalian membicarakan apa saja?”

“Nah, dengar ini deh, Maid-chan. Otaku-kun itu, tahu tidak—”

──Panjang! Panjang sekali ceritanya, nona muda! Padahal saya masih punya banyak tugas yang harus di selesaikan!

Satu jam pun berlalu dalam sekejap.

Ternyata murid laki-laki yang dikenalnya di kereta adalah seorang otaku yang sangat menyukai subkultur.

Bukan hanya bersikap sopan, tapi dia juga selalu memberi reaksi yang diharapkan dan mampu menawarkan kesenangan kecil dalam obrolan—memang pantas disukai.

Sepertinya nona muda pun benar-benar terpikat olehnya.

Soal cinta dan sejenisnya mungkin belum relevan, tapi tampaknya

hubungan mereka sudah cukup kuat untuk disebut sebagai “teman.”

Setiap kali berbicara tentang Otaku-san, nona muda menjadi sangat lancar bertutur kata.

Mulai dari awal pertemuan mereka (saya sengaja menyebutnya “awal kisah cinta”), hingga bagaimana hubungan mereka berkembang sejauh ini—semua diceritakan dengan detail.

Bagi seorang wanita, tujuan dari percakapan bukanlah sekadar menyampaikan informasi. Yang terpenting adalah perasaan senang yang muncul saat berbicara.

Dan saat ini, nona muda benar-benar menjadi wujud nyata dari hal tersebut.

“Kalau dipikir-pikir, ngasih game ke cewek itu… terlalu simpel, tidak sih?”

Nada pertanyaan. Lalu, apa maksud di baliknya? Apakah dia sedang mencari persetujuan?

Tidak—intuisi saya sebagai seorang ahli nona muda mengatakan ini adalah jebakan yang terlihat seperti ajakan untuk setuju!

“Memang terkesan terlalu mudah ditebak, tetapi saya yakin itu karena dia tulus ingin membuat nona muda senang. Menangkap maksud seperti itu… justru menunjukkan wanita yang bijak, bukan begitu?”

“Ah—iya, iya. Maid-chan juga mikirnya gitu, ya?”

Yui-sama menggulung-gulung ujung rambutnya di jari. Ekspresinya—siapapun yang melihat pasti tahu—jelas bukan wajah orang yang kesal.

L-lucu sekali──! Sangat menggemaskan, sungguh menawan!

Dengan seluruh kemampuan yang kumiliki sebagai pelayan, aku diam- diam mengambil foto-foto candid cepat-cepat.

“Memang dia masih canggung dalam berinteraksi sama cewek, tapi usaha kerasnya itu… ya, tidak membuatku risih juga sih. Aku kan bukan iblis—kalau seseorang sudah berusaha sekuat itu, rasanya ingin kasih dia apresiasi, gitu.”

Manis sekali! Ini manisnya kelewatan, bukan!?

Sorot matanya kini seperti seorang ibu yang memandang anak laki- lakinya yang masih kecil.

Jangan-jangan… usaha Otaku-san yang masih belum terbiasa dengan perempuan justru membangkitkan naluri keibuan dalam diri nona muda?

Saya tahu benar kalau nona muda pasti tak akan mau mengakuinya, tetapi beliau kini telah menjadi gal yang baik hati pada seorang otaku!

Saya kira gadis seperti itu cuma ada di fiksi, tapi ternyata dia benar-

benar muncul di hadapan saya! Tak pernah terbayang sebelumnya!

Tampaknya tanggapan saya tadi benar-benar tepat. Nona muda sampai tak bisa menutup mulutnya karena terkejut (dan mungkin juga kagum).

“Walaupun ya, itu kan pertama kalinya buat dia, tapi dia tidak kasih aku handicap sama sekali, lho. Gini deh, kalau saja dia punya sedikit rasa gentleman, pasti bisa lebih disukai, tahu!”

Isi percakapannya memang terdengar seperti keluhan, tapi… jelas sekali beliau tidak benar-benar merasa kesal.

Bahkan saat beliau berkata bahwa Otaku-san “tidak populer,” nada suaranya justru terdengar seperti menyimpan sedikit rasa senang.

Apakah bermain game pertama kalinya dengan lawan jenis membuat beliau begitu gembira sampai jadi cerewet?

“Saya bisa memahami perasaan itu.”

“Hubunganku sama Otaku-kun tuh… tidak bisa dijelasin dengan satu kata sih. Tapi aku ngerasa ini semua sudah takdir.”

“Sebuah pertemuan sekali seumur hidup, ya.”

“Saat aku jadi gal, aku bisa bercanda semaunya. Tapi waktu jadi Omote

-chan, malah jadi gugup banget. Kalau dipikir-pikir, lebih baik ngobrol biasa saja tidak sih? Buat kebaikan Otaku-kun juga.”

Namun Yui-sama… sejujurnya, itu bukan semata-mata demi Otaku-san, melainkan lebih kepada diri Anda sendiri.

Secara tak sadar, beliau mungkin sedang mencari-cari alasan agar bisa bertemu dengannya.

Hari di mana beliau menyadari bahwa keinginan untuk “ingin bertemu” itu tumbuh dari dalam hatinya… sepertinya sudah tak lama lagi. Dan saya sungguh menantikan saat itu tiba.

Oh, dan tampaknya nona muda memberi nama untuk dua sisi dirinya: saat menjadi gadis bangsawan disebut “Omote-chan,” dan saat menjadi gal disebut “Ura-chan.”

Sungguh nama yang sangat mudah dimengerti. Tapi justru karena itulah, kebodohan Otaku-san yang tak menyadarinya terasa… menggemaskan, malah.

“Kalau aku melatih dia pakai Omote-chan, dan Ura-chan memberinya masukan… kayaknya aku bisa juga jadi pelatih pribadinya. Bagaimana menurutmu?”

Kalau boleh jujur, itu penuh dengan kepentingan pribadi.

Sepertinya nona muda cukup menyukai relasinya dengan Otaku-san dalam kedua perannya—sebagai gal maupun sebagai nona bangsawan.

Saat jadi gal, beliau bisa bersikap ramah dan santai. Tapi saat jadi Nona bangsawan, beliau merasa diakui sebagai seorang perempuan oleh Otaku-san.

Meski pada dasarnya adalah orang yang sama, perasaan yang ditujukan kepadanya seakan-akan berasal dari dua orang yang berbeda.

Baik pihak yang menggoda maupun pihak yang digoda, kalau sama- sama menikmatinya, tentu saja hubungan seperti ini ingin dipertahankan.

Tentu saja, ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Namun sisi yang sesuai dengan usianya ini… tidak membuat saya merasa buruk sedikit pun. Bahkan, saya bisa bilang: “Ih, lucu banget sih!”

Sebagai pelayan yang menganggap Yui-sama sebagai oshi sejati, perubahan ini sungguh membuat saya bahagia. Saya pun ingin terus menyaksikannya dari dekat.

Meski begitu, sejauh mana hubungan antara nona muda dan Otaku- san akan berlanjut—itu hanya Tuhan yang tahu.

Apakah hubungan mereka akan berkembang menjadi sepasang kekasih, sahabat sejati, atau justru menghilang begitu saja seiring waktu?

Tentu saja, jika masa depan yang menanti mereka adalah “kedekatan yang lebih dalam,” maka akan tiba saatnya nona muda harus mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya.

Dan bisa jadi, pengungkapan itu akan membawa akhir—dalam berbagai makna.

Namun demikian, apapun hasil akhirnya nanti, saya ingin mendukung Yui-sama sepenuh hati.

Saya ingin selalu menjadi orang yang ada di pihak beliau, dalam situasi apa pun.

Memang ada hal-hal yang ingin saya sampaikan, tapi yang terpenting saat ini adalah… keinginan beliau untuk melanjutkan hubungan itu begitu jelas terasa. Maka izinkan saya untuk mendorong punggungnya perlahan.

Dan tentu saja, saya tidak punya niat terselubung seperti ingin menikmati dari dekat momen-momen saat nona muda mulai bertransformasi menjadi gadis yang sedang jatuh cinta, atau ingin ikut terbawa perasaan oleh curhatan-curhatan manis dan menggemaskan. Hehehe.

“Menurut saya, itu adalah ide bagus yang menguntungkan kedua belah pihak.”

“Benar, kan!? Memang yang paling dibutuhkan itu adalah pelayab yang mengerti jalan pikir majikannya!”

Ouh... Tolong jangan tersenyum semanis itu. Bisa-bisa saya mimisan.

“A-a-ampun, saya merasa sangat terhormat…”

Saya punya firasat dia akan jadi semakin imut ke depannya. Saya harus bersiap-siap agar tidak mati kehabisan darah walau melihatnya dari jarak sedekat ini.

“Aku punya satu permintaan, nih.”

“Silakan perintahkan apa saja.”

“Aku ingin kamu bawa ini dan datang ke kamarku. Maaf, tapi maukah kamu menemaniku?”

Nona muda mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layarnya kepada saya.

Lengan yang lembut dan hangatnya bersentuhan dengan saya. Ditambah lagi, aromanya begitu harum sampai-sampai hidung saya ikut bahagia.

Di layar, terlihat gambar konsol game dan softwarenya.

Dilihat dari alur ceritanya, sepertinya itu adalah permainan yang dia mainkan bersama Otaku-san.

“Sekadar ingin tahu saja, tapi jangan-jangan──”

Yui-sama tersenyum penuh arti, senyuman hitam nan jahat,

“──Kupikir akan seru kalau aku balas dendam pakai Omote-chan. Bukankah itu lebih menarik?”

Senyumannya begitu menggetarkan hingga seluruh tubuh saya merinding.

Ngomong-ngomong, saya jadi teringat sesuatu yang sempat saya lupakan.

Nona muda ini sangat tidak suka kalah.

Namu Amida Butsu.Tak perlu ditanya, aku langsung membacakan doa untuk Otaku-san.


PoV

Tsuchiya Bunta


“Hatchoo!”

Aku bersin begitu saja setelah merasa menggigil. Ugh… apa jangan- jangan masuk angin?

Tidak mungkin juga ada orang yang membicarakan aku sih, soalnya aku ini orangnya tidak menonjol.

Tapi sekarang aku tidak punya cukup ruang di kepala buat mikirin kondisi fisik sendiri.

Soalnya, sudah seminggu sejak hari kami main game itu, aku belum bertemu lagi dengan Urakawa-san dan sang gadis suci.

Dengan tingkat kepercayaan diri serendah ini, pikiran buruk terus- menerus muncul di benakku.

Mungkin aku memang kurang peka karena sudah mengalahkan cewek yang baru pertama kali main game.

Kalau tujuannya supaya dia bisa bersenang-senang, seharusnya aku membiarkan dia menang.

Tapi aku malah main seperti biasa. Bahkan tidak kepikiran untuk “memberi kemenangan” sebagai bentuk perhatian.

Mungkin sikap seperti inilah yang bikin aku tidak pernah bisa menarik hati siapa pun.

Padahal aku sudah dapat kesempatan emas buat jadi “sampel”... aah, dasar aku ini, bodoh, bodoh, bodoh!

“...Haa.”

Aku menghela napas panjang di peron stasiun.

Selama seminggu ini tidak bertemu dengan mereka, aku jadi benar- benar sadar akan satu hal—ternyata aku menantikan percakapan dengan mereka jauh lebih dari yang aku bayangkan.

Seorang cowok SMA biasa bisa ngobrol dengan dua cewek, tentu saja itu menyenangkan. Tapi bukan itu maksudnya…

Bagaimana ya menjelaskannya… waktu yang kuhabiskan bersama mereka di kereta saat pergi dan pulang sekolah itu terasa seperti—ya, seperti masa muda yang sesungguhnya.

Bercanda bareng teman, membuang-buang waktu berharga saat masih muda dengan hal-hal konyol.

Tapi saat dewasa nanti, justru waktu seperti itu akan terekam sebagai momen yang sangat berharga. Klise sih, kayak pujangga amatiran gitu.

Tapi entah kenapa, waktu yang kuhabiskan bersama Urakawa-san dan sang gadis suci terasa seperti sesuatu yang akan tetap membekas

dalam hidupku selamanya.

Dengan langkah berat, aku naik ke kereta yang membawaku ke sekolah. Menyadari bahwa aku tidak akan bertemu mereka berdua itu… cukup menyakitkan, sebenarnya.

Padahal aku tahu mereka tidak ada, tapi aku tetap saja mencarinya tanpa sadar. Dan ketika tak menemukannya, aku pun tenggelam dalam kekecewaan.

Aku yang sedari tadi terus menunduk, akhirnya mencoba mengangkat pandanganku.

Aku sudah yakin hari ini pun tidak akan bertemu mereka—namun yang tiba-tiba muncul dalam pandanganku adalah sang gadis suci… dengan rambut yang berdiri seperti habis kena setrum.

Rambut berdiri karena marah!? Eh, rambutnya kayak lagi super aktif atau gimana gitu!?

Apa-apaan tuh aura tempurnya yang menyelimuti seluruh tubuh!? Seram banget!

Itu bukan sang gadis suci lagi, tapi lebih kayak gadis suci! Ini dari anime Hunter mana, sih!?

Aku mengucek kedua mataku untuk memastikan. Apa jangan-jangan karena terlalu kangen, aku sampai berhalusinasi!?

Tentu saja, bukan begitu. Yang cuma khayalan ternyata hanyalah gaya rambutnya yang menegakkan bulu kuduk.

Yang ada di sana adalah sang gadis suci dengan rambut dikepang dan diikat setengah ke atas, duduk anggun di tempatnya.

Tatapan kami bertemu. Begitu dia menyadari kehadiranku, dia tersenyum anggun seperti seorang bangsawan dan menepuk kursi di sebelahnya.

Itu isyarat supaya aku duduk di sampingnya.

“Puk puk” dari seorang gadis yang pernah jadi mimpi semua cowok. Dan sekarang itu ditujukan kepadaku. Aku benar-benar tidak percaya.

Seharusnya, ini adalah momen bahagia yang bisa bikin aku menangis terharu. Tapi, entah kenapa, yang kurasakan saat itu justru... takut.

Soalnya... matanya! Matanya tidak ikut senyum! Meski senyumnya lembut bak seorang wanita bangsawan, tapi sorot matanya sama sekali tidak bersahabat!?

Sang gadis suci dipenuhi dengan aura yang tidak biasa, tekanannya luar biasa. Cara berdirinya saja sudah nunjukkin kalau dia tidak mau dibantah.

Seperti ada daya tarik mematikan yang bikin aku tidak bisa tidak mendekat, walaupun tahu bakal “dimakan”. Hiiiih!

Padahal seharusnya aku senang banget bisa ketemu lagi, sampai ingin loncat kegirangan—tapi kenapa malah seram begini...!?

Aku pun duduk di sebelahnya, seperti yang “diperintahkan” oleh tekanan tak kasatmata itu.

Jelas saja, dalam kondisi sekarang, aku tidak sempat menikmati momen manis itu.

“Pertemuan kita di sini adalah takdir yang sudah ditentukan sejak seratus tahun yang lalu... Selamat pagi.”

“Itu ucapan selamat pagi atau pengumuman akhir hidup seseorang!?”

“Fufu. Hanya bercanda, kok.”

Meskipun banyak hal yang ingin aku tanyakan, melihat sang gadis suci tersenyum dengan ceria membuatku merasa lega.

Aku benar-benar bersyukur karena dia tidak terlibat dalam kecelakaan atau insiden apa pun.

“…Sudah lama tidak bertemu, Saint-sama. Aku lega melihatmu tampak sehat.”

“Kalau boleh tahu, maksudnya?”

“Soalnya aku tidak bisa bertemu denganmu selama beberapa waktu.”

“Jangan-jangan… kamu mengkhawatirkanku?”

Perlahan tapi pasti, wajah cantiknya mendekat ke arahku.

Dekat! Ini terlalu dekat! Apa dia tidak mengerti soal jarak pribadi!?

Buat sang gadis suci, aku hanyalah sampel yang dipilih oleh sahabatnya.

Karena dia tidak melihatku sebagai lawan jenis, mungkin itu sebabnya dia bisa sedekat ini tanpa ragu.

Aku jadi benar-benar merasakan betapa beratnya perjuangan Urakawa-san.

Kalau dengan lawan jenis saja jaraknya sedemikian rupa, pasti pemilihan orang pun jadi sangat hati-hati.

Dalam artian seperti itu, aku hampir saja berkata, “pilihan orangnya tidak buruk juga, ya.” Meskipun, ya... itu terdengar cukup narsis sih.

Tapi, aku ini adalah pria yang tidak akan pernah salah paham, oke!?

Tatapan matanya yang lurus membuatku tak sanggup menatap balik, jadi aku pun mengalihkan pandangan sambil berkata:

“T-tentu saja aku khawatir! Sudah seminggu sejak terakhir kali kita bertemu, lho?”

“Padahal, kamu tidak terlihat ada usaha untuk mencari tahu alasan kenapa kita tidak bisa bertemu selama itu.”

Ugh, tajam sekali. Memang pantas disebut nona bangsawan. Pengamatan beliau memang luar biasa.

Sebenarnya, sejak bisa bertemu lagi dengan Urakawa-san dan sang gadis suci, aku memang tidak berniat mencari tahu alasan kenapa mereka tiba-tiba menghilang.

Meskipun aku ditunjuk sebagai ‘sampel rakyat jelata’, bukan berarti aku harus kepo tentang segalanya, kan?

Keinginan untuk tahu segalanya tentangmu, ingin tahu lebih dari siapa pun—bukankah itu cara berpikir seperti seorang penguntit?

Memang, menurutku menjaga jarak itu penting. Kalau sampai dianggap mengganggu, keberuntungan yang sudah kudapat bisa-bisa terbuang sia-sia.

Terlebih lagi──

“Lagipula, sekarang aku sudah bisa bertemu kembali dengan Saint- sama dalam keadaan selamat, dan itu saja sudah cukup membuatku senang, sih.”

“Jadi kamu tidak penasaran sama sekali dengan alasannya?”

“Yah, sebenarnya aku memang penasaran, tapi...”

“Tapi?”

“Aku rasa ini ada hubungannya dengan Urakawa-san, kan?”

“...Yah, bisa dibilang begitu.”

“Kalau begitu, aku tidak perlu menanyakannya lebih jauh.”

“Eh, kenapa begitu?”

“Soalnya, dia bukan tipe orang yang suka berbuat jahat, jadi kurasa aku tidak perlu memaksa untuk meminta penjelasan.”

Saat aku melirik sekilas ke arah sang gadis suci, entah kenapa dia sedang mencubit pipinya sendiri dengan cukup keras.

Eh, apa yang sedang dia lakukan!?

“Boleh aku tanya satu hal?”

“Ah, tentu. Kalau aku bisa menjawabnya.”

“Yang bikin kamu senang bisa bertemu lagi itu aku? Atau Ura-chan?”

“──Eh?”

Aku mengeluarkan suara bingung karena tidak memahami

pertanyaannya.

Apa ya, perasaan ini? Seperti sedikit kesal atau mungkin ngambek?

Eh, hmm... mari kita coba memahami situasinya.

Setelah seminggu berlalu sejak terakhir kali bertemu, aku menyampaikan bahwa aku khawatir karena tidak bisa bertemu dengan mereka berdua.

Biasanya, aku akan mencari tahu alasannya, tapi karena percaya pada keputusan Urakawa-san, aku memilih untuk tidak menanyakannya.

Setelah aku menyampaikan hal itu kepada sang gadis suci, situasinya menjadi seperti sekarang.

Hmm? Di mana bagian yang bisa membuatnya kesal──

“Apakah mungkin kamu mengaku sebagai penggemarku hanya untuk bisa bertemu dengan Ura-chan?”

Nnnnnnnn? Eh, jangan-jangan dia sedikit ngambek karena aku terlalu percaya sama Urakawa-san!?

Apa ini… bisa jadi cemburu!?

Tidak, tenang! Bukan—bukan karena dia cemburu kepadaku!

Mungkin, sang gadis suci jadi kesal karena Urakawa-san, yang selama ini selalu bersamanya, mulai lebih memperhatikanku.

Dengan kata lain, dari sudut pandang sang gadis suci, ini terlihat seperti “Urakawa-chan mau direbut Tsuchiya Bunta”!?

──Yuri!? Jangan-jangan ini adalah adegan yuri!?

T-tapi memang sih, bahkan aku yang laki-laki juga kadang merasa Urakawa-san itu keren… Jadi kalau sang gadis suci yang tumbuh dengan manja layaknya bunga di taman jatuh hati padanya, itu bukan hal aneh…

Pokoknya, aku harus menyampaikan bahwa aku hanyalah pengikut setia yang sudah lama mendapat penghiburan dari sang gadis suci!

Kalau tidak, aku bisa-bisa jadi orang ketiga yang terjepit di antara Urakawa-san dan sang gadis suci!

“Tentu saja aku sangat senang bisa bertemu lagi denganmu, Saint- sama!?”

“Kelihatannya tidak begitu.”

“Eh!?”

“Padahal kamu itu otaku, tapi napasmu tidak terengah-engah.”

“Cara kamu menilai kebahagiaan itu penuh prasangka banget!”

“Tuh kan, kamu malah membalas dengan tenang. Apa kamu benar- benar senang bisa bertemu lagi denganku?”

Sang gadis suci menatapku dengan mata menyipit penuh curiga.

Padahal pertanyaan dari seorang gadis seperti “Kamu senang bisa bertemu denganku?” seharusnya adalah hadiah tak ternilai, tapi kenapa rasanya seperti tekanan luar biasa ini──!?

Ini momen yang tidak boleh gagal. Aku harus menegaskan bahwa aku sama sekali tidak berniat merusak hubungan mereka berdua!

Lihatlah, wahai sang gadis suci! Inilah ekspresi tulusku yang penuh penghayatan──

“Hah… hah…”

“Napasmu terdengar berat. Apa kamu baik-baik saja?”

“U-umm, aku sedang mencoba mengekspresikan rasa senangku karena bisa bertemu denganmu…”

“Ekspresi yang aneh, ya.”

“Eh!?”

Jangan-jangan dia tipe natural airhead!? Ke mana perginya standar pengukuran kebahagiaan ala otaku itu?

“Ehem. Aku tanya sekali lagi ya. Kamu ingin bertemu denganku?”

“Tentu saja!”

Jawaban cepat dan tegas. Memang terasa seperti aku sedang dipaksa mengatakan sesuatu yang luar biasa, tapi jauh lebih baik daripada dianggap sebagai orang ketiga!

Lagipula, selama enam bulan ini aku selalu mendapat penghiburan dari sang gadis suci. Tidak mungkin aku tidak senang bertemu lagi dengannya.

“Kalau misalnya kamu hanya bisa bertemu salah satu—aku atau Ura- chan—siapa yang akan kamu pilih?”

“...Salah satu, ya.”

Ekspresi sang gadis suci begitu serius. Melihat dari situasinya, seharusnya ini adalah momen di mana aku harus memilih dia.

──Namun. “Otaku-kun──”

Begitu aku memejamkan mata, ingatan tentang waktu yang

kuhabiskan bersama Urakawa-san langsung muncul begitu saja.

Padahal, sampai belum lama ini, hanya dengan melihat sang gadis suci dari kejauhan saja aku sudah merasa cukup... Tapi sekarang, saat aku dihadapkan dengan perasaan yang tersembunyi di dalam hati ini, aku jadi sadar betapa manusia itu makhluk yang penuh keinginan.

Padahal aku ini cuma NPC berwajah polos yang tidak menonjol.

“Maaf, aku tidak bisa memilih.”

“Itu...”

“──Aku tahu. Silakan saja kalau mau menganggapku pengecut. Tapi... aku benar-benar tidak bisa memilih. Karena, aku ingin menjaga kalian berdua.”

Aaaah, selesai sudah 〜 〜 〜 〜 ! Kenapa aku tidak bisa langsung jawab “Kamu” di saat seperti itu!?

Siapa pun yang mikir waras pasti tahu itu jawaban yang salah, kan!

Bukan cuma pengecut, aku malah bikin pernyataan penghancur hubungan karena bilang masih ingin bertemu dengan Urakawa-san juga.

Aku ingin mendapatkan ketenangan dari sang gadis suci. Tapi aku juga ingin digoda oleh Urakawa-san.

Jawaban terlarang yang tak bisa dimaafkan! Meski aku bersumpah tidak punya perasaan romantis pada siapa pun, tetap saja kesannya seperti main dua hati.

Sang gadis suci adalah gadis bangsawan yang anggun, lembut, dan memperlakukan semua orang dengan adil.

Urakawa-san adalah gal yang ramah dan jago menggoda.

Ugh, rasanya tidak bisa milih! Jawabanku bisa saja terdengar seperti aku tidak mau kehilangan keduanya.

Benar-benar puncak dari kebimbangan dan pengecut.

Dan dalam dunia “sampel rakyat jelata” ini, sang gadis suci memegang penuh hak atas hidup dan matiku.

Setelah ini, aku bisa membayangkan dengan jelas adegan di mana Urakawa-san protes sambil berkata, “Otaku-kun itu agak…”

Aku hampir menangis, tapi berusaha sekuat tenaga menahannya sambil mengamati reaksi sang gadis suci.

Sejujurnya, ini seperti rasa ingin tahu yang bercampur ketakutan. Mirip alasan kenapa film horor tidak pernah benar-benar hilang dari dunia ini.

Ah, pasti dia akan diselimuti amarah yang sunyi──(melirik sekilas),

“Nyaa-ha~”

Nyaa-ha~? Eh!? Apa tadi aku salah dengar!? Tapi kayaknya memang terdengar begitu...

J-jangan-jangan itu semacam kode rahasia!?

“Aduh, benar-benar deh. Kamu ini, Otaku-kun, benar-benar. Tidak bisa dimaafkan. Manusia gagal.”

Ekspresinya campuran antara malu dan senyum. Dari apa yang kulihat, dia tidak kelihatan benar-benar marah.

Tapi dari apa yang kudengar, jelas-jelas dia lagi nyindir.

I-ini bagaimana!? Aku tidak bisa membaca ekspresinya dengan jelas!

“U-umm, jadi… bolehkah aku menganggap diriku tidak bersalah?”

“Fufu, tentu saja kamu bersalah.”

“Benar juga!”

Kalau dipikir-pikir, itu memang reaksi yang wajar. Soalnya pas ditanya sama cewek, aku jawabnya “tidak bisa milih”.

“Tapi aku ini adalah sang gadis suci. Sudah tugasku untuk membimbing domba-domba yang tersesat. Aku tidak akan

meninggalkan siapa pun.”

“Benarkah…!”

Bukan cuma penampilannya, bahkan hatinya pun benar-benar suci. Gadis seperti ini mau memperhatikan laki-laki biasa sepertiku yang tidak punya keistimewaan apa-apa! Pantas saja dia bisa menarik hati lawan jenis.

“M-meskipun kamu sudah punya tujuh catatan kriminal, aku akan tetap menerimamu!”

“Itu artinya aku sudah berbuat macam-macam dong!?”

“Yang lebih parah justru kamu, Otaku-san. Kamu ini terlalu bebal. Benar-benar tidak peka... Haaah...”

Sebuah desahan napas besar. Tidak diragukan lagi, dia benar-benar kehabisan kesabaran. Tapi anehnya, kenapa ya... aku malah merasa sedikit senang.

Mungkin karena akhirnya aku bisa melihat sisi lain dari sang gadis suci—sisi yang tidak pernah terlihat hanya dengan melirik dari tempak duduk sebelah. Mungkin inilah yang orang sebut sebagai keuntungan jadi “sampel orang biasa”?.

“Ngomong-ngomong, aku dengar sesuatu, lho.”

Ujar sang gadis suci seolah baru teringat. Dan di titik ini, aku sudah

bisa merasakan firasat buruk menyelimuti.

“E-eh, dengar apa dari siapa… ya?”

“Katanya kamu main game bareng Ura-chan, ya?”

“Eeh… iya. Kami main bareng.”

“Aku saja belum pernah, tahu! Curang!”

Sang gadis suci kembali membungkukkan badannya ke arahku.

Wah, bahaya! Eh, jangan tiba-tiba mendekat begini dong!

Kalau sampai kita bersentuhan dan aku kena serangan jantung, gimana coba──aku yang celaka, maksudnya!

Aku bisa merasakan aura cemburu dan kemarahan membara dari dirinya, karena seorang otaku entah dari mana ini sudah merebut ‘momen pertama’-nya bersama Ura-chan.

Kalau dipikir-pikir lagi, saat pertama kali naik ke gerbong ini, sang gadis suci benar-benar tampak marah.

Pasti karena aku sudah lebih dulu merebut “momen pertama” mereka berdua.

“Ke depannya, kalau ada hal-hal semacam itu yang akan dilakukan,

bisakah kamu memberitahuku lebih dulu?”

“Akan kuusahakan.”

Akhirnya aku menyadarinya dengan pasti. Bukan karena sang gadis suci tidak bisa menjaga jarak dengan lawan jenis, tapi karena dia tidak perlu melakukannya.

Karena dia tidak menganggap lawan jenis sebagai lawan jenis!

“Hal yang sudah terjadi mau bagaimana lagi. Kali ini akan aku maklumi. Sebagai gantinya, maukah kamu bermain game bersamaku juga?”

“Dengan senang hati, tentu saja──ah!” “Ada apa?”

“Maaf… aku sama sekali tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, jadi, itu… aku tidak membawa gamenya…”

Sial…! Seperti biasa, aku tidak pernah siap di saat penting begini.

Saat aku larut dalam kekecewaan, sang gadis suci malah menatapku dengan ekspresi percaya diri entah kenapa.

Sambil mendengus “fufun” dengan bangga, dia berkata.

“Tenang saja. Sudah aku siapkan di tasku!”

“Kenapa bisa begitu!?”

“Itu Ura-chan yang memberikannya langsung kepadaku. Katanya, ini adalah ‘barang kesukaan anak cowok’, jadi aku harus belajar memainkannya darimu.”

“Ah—jadi begitu. Oke, kalau begitu ayo kita main.”

Seperti biasa, bantuan yang sangat tepat waktu. Memang bisa diandalkan, Urakawa-san.

Untuk memahami perilaku murid laki-laki, game adalah hal yang tidak bisa dilewatkan. Ia juga merupakan alat komunikasi yang sangat efektif.

Urakawa-san sampai ikut ketagihan, jadi pasti sang gadis suci juga akan bisa menikmatinya.

“...Tapi kalau hanya sekadar main tanding biasa, rasanya agak hambar. Bagaimana kalau kita tambahkan aturan—pemenang boleh memberi satu perintah apa saja kepada yang kalah?”

“Ugh!?”

Tanpa sadar aku menyemburkan napas tertahan.

Baik sang gadis suci maupun Urakawa-san, kenapa sih mereka selalu ingin mempertaruhkan sesuatu?

Padahal menurutku, sekadar bermain game bersama saja sudah cukup menyenangkan.

“Ah, tentu saja hubungan antara lawan jenis itu tidak boleh, ya?”

“Itu sudah jelas!”

“Kalau aku menang, kamu akan jadi anjing──fufu, tidak sabar deh.”

Anjing!? Barusan dia bilang anjing, kan!? Jangan-jangan, sang gadis suci ini sebenarnya suka iseng juga!?

“U-umm… ngomong-ngomong, kamu pernah main game sebelumnya?”

“Belum pernah, kok.”

“Eeehh!? Jadi kamu mau bertaruh hak untuk memberi perintah, padahal belum pernah main game sama sekali!?”

“Ya.”

Hebat juga. Rasa percaya dirinya terpancar dari seluruh tubuhnya. Padahal ini pertama kalinya, tapi dia benar-benar yakin bisa mengalahkanku.

“Apakah Otaku-san tidak mau main game denganku?”

“Aku sangat mau!!”

Tekanannya luar biasa, tidak ada celah buat nolak…

Yah, bukan berarti dia bakal memberi perintah yang gila-gilaan sih. Aku pikir selama dia bisa senang-senang sedikit sebagai balasan atas semua kenyamanan yang dia kasih selama ini, itu sudah cukup.

Dengan perasaan santai seperti itu, aku pun menerima tantangan pertandingannya — dan yang menungguku adalah──

“Fufu. Aku jadi juara satu, deh. Otaku-san juga boleh lho mainnya serius. Nih, kamu ketinggalan satu putaran lagi.”

──Aku dibantai habis-habisan. Di layar, hanya tampak adegan aku dilindas tanpa perlawanan.

Kuattttttt banget!!

Gila, ini beneran super kuat, kan!?

Gawat!! Teknik mengemudinya mengalahkan pro gamer! Terus pas dia melemparkan cangkang ke arahku tuh, ada semacam tekad membara yang mengerikan!

Apa-apaan itu kontrol yang menempel terus kayak lem!?

“Jadi, bisakah kamu mengeluarkan ponselmu sekarang?”

“Eh!?”

“Pemenang berhak memberikan satu perintah kepada yang kalah. Jangan bilang kamu lupa, ya?”

Dengan berat hati aku mengeluarkan ponsel, lalu pas! Langsung direbut begitu saja.

Sang gadis suci mengoperasikannya dengan tatatat cepat, lalu mengembalikannya sambil berkata, “Silakan.”

Ce... cepat banget gerakannya.

“Eh... ini maksudnya?”

“Aku sudah memasukkan kontakku ke ponselmu. Mulai sekarang, setiap kali kamu bertemu Ura-chan, tolong laporkan apa saja yang kalian bicarakan, ya?”

Kurasa aku tidak akan pernah bisa melupakan senyum itu seumur hidupku.

Meskipun wajahnya terlihat puas seperti habis berhasil ngerjain seseorang, ada maksud tersembunyi di baliknya.

Ya, tidak salah lagi. Ini bentuk pengawasan.

Itu adalah deklarasi perang yang berkata, “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil lagi ‘yang pertama’ dari Ura-chan.”

“Fufu. Mulai sekarang, aku titip kerja samanya ya.”

Kenapa ya, kupingku malah mendengarnya kayak “siap berantem di jalan” gitu? Apa cuma aku saja? Ya sudah deh...

Oh iya, nama kontak yang dia masukin di HP-ku adalah [Sang gadis suci-nya Otaku-san].

Terlalu iblis...!!


PoV

Omotegawa Yui


Dibalas kalau diserang! Balas dendam, tapi dengan cara dibalik!

Dengan niat seperti itu dalam hati, aku menunggu Otaku-kun naik ke dalam kereta.

Berkat bantuan Maid-chan yang mau menemaniku, aku jadi makin jago dalam car race (game balap mobil).

Mungkin terdengar agak menyebalkan, tapi dari dulu aku memang cepat nangkep cara main sesuatu.

Yah, karena terlalu fokus latihan, sampai-sampai seminggu pun berlalu begitu saja.

Akibatnya, stok “asupan Otaku-kun”-ku benar-benar menipis. Sudah saatnya isi ulang.

Aku ingin menggoda dia. Ingin saling lempar celetukan lagi.

Sadar-sadar, aku malah jadi agak menantikan pertemuan ini.

Ah, datang juga! Lama tidak ketemu, ya, Otaku-kun♪

“Pertemuan kita di sini adalah takdir yang sudah ditentukan sejak

seratus tahun yang lalu... Selamat pagi.”

“Itu ucapan selamat pagi atau pengumuman akhir hidup seseorang!?”

“Fufu. Hanya bercanda, kok.”

“…Sudah lama tidak bertemu, Saint-sama. Aku lega melihatmu tampak sehat.”

“Kalau boleh tahu, maksudnya?”

“Soalnya aku tidak bisa bertemu denganmu selama beberapa waktu.”

“Jangan-jangan… kamu mengkhawatirkanku?”

Apa seminggu menghilang tanpa kabar itu memang terlalu parah, ya?

Tampaknya Otaku-kun benar-benar khawatir soal keadaanku. Hmph, anak yang manis juga.

“T-tentu saja aku khawatir! Sudah seminggu sejak terakhir kali kita bertemu, lho?”

“Padahal, kamu tidak terlihat ada usaha untuk mencari tahu alasan kenapa kita tidak bisa bertemu selama itu.”

Kupikir dia akan langsung mencecarku dengan pertanyaan soal alasan ketidakhadiran, tapi...

Sikapnya yang terlalu sopan setelah pertemuan kembali ini justru terasa agak kurang greget.

Yah, maksudku... ini satu minggu, lho! Menghilang selama tujuh hari penuh! Bukankah seharusnya kamu lebih penasaran sedikit?

“Lagipula, sekarang aku sudah bisa bertemu kembali dengan Saint- sama dalam keadaan selamat, dan itu saja sudah cukup membuatku senang, sih.”

“Jadi kamu tidak penasaran sama sekali dengan alasannya?”

“Yah, sebenarnya aku memang penasaran, tapi...”

“Tapi?”

“Aku rasa ini ada hubungannya dengan Urakawa-san, kan?”

“...Yah, bisa dibilang begitu.”

“Kalau begitu, aku tidak perlu menanyakannya lebih jauh.”

“Eh, kenapa begitu?”

“Soalnya, dia bukan tipe orang yang suka berbuat jahat, jadi kurasa aku tidak perlu memaksa untuk meminta penjelasan.”

—Ya, dapat satu lagi! Rayuan natural tanpa sadar!

Ini jahat. Parah banget. Beneran, menurutku ini sudah masuk kategori pelanggaran.

Di sini aku lagi mikir buat balas dendam pakai sisi “Omote-chan”, tapi apa yang kulihat? Kepercayaan total macam apa itu. Bisa tidak sih berhenti menggoda cewek tanpa sadar?

Rasanya geli banget, sumpah.

Aku harus nyubit pipiku sendiri biar tidak senyum-senyum sendiri. Rasa sakitnya lumayan ampuh buat nolongin.

Atau lebih tepatnya...

“Yang bikin kamu senang bisa bertemu lagi itu aku? Atau Ura-chan?”

“──Eh?”

Dari dulu aku sudah curiga sih… kamu itu condong banget ke Ura-chan, ya?

Bukan berarti aku tidak senang kamu juga deket sama dia—itu kan sisi asliku juga. Tapi, kalau sisi “Omote”-ku malah disisihkan, ya aku juga ngerasa agak… gimana gitu.

Jadi, kalau ada cewek baru muncul, kamu langsung pindah hati gitu ya?

Yah, walaupun sebenarnya keduanya juga aku sih, jadi secara teknis

bukan orang lain.

Tapi… ya tetap saja, aku tidak menyukai apa yang tidak aku sukai.

“Apakah mungkin kamu mengaku sebagai penggemarku hanya untuk bisa bertemu dengan Ura-chan?”

“Tentu saja aku sangat senang bisa bertemu lagi denganmu, Saint- sama!?”

“Kelihatannya tidak begitu.”

“Eh!?”

“Kalau misalnya kamu hanya bisa bertemu salah satu—aku atau Ura- chan—siapa yang akan kamu pilih?”

“…Salah satu, ya.”

Sambil menutup mata, Otaku-kun pun tenggelam dalam pikirannya.

Aku sendiri juga merasa kejam sih. Tapi ya gimana, aku penasaran banget.

“Maaf, aku tidak bisa memilih.”

“Itu...”

Itu sih jelas pengecut, kan?

Menganggapku—si Omote-chan—yang sudah jadi cinta sepihaknya selama setengah tahun ini setara dengan yang satu lagi? Itu keterlaluan, kan?

“──Aku tahu. Silakan saja kalau mau menganggapku pengecut. Tapi... aku benar-benar tidak bisa memilih. Karena, aku ingin menjaga kalian berdua.”

Uwah, dia ngucapin juga! Ngomong kayak cowok ganteng saja, santai banget gitu!

Uwahhh—dan lagi, pilihan katanya nyebelin banget.

Bukannya bilang “karena kalian penting”, dia malah bilang “karena aku ingin menjaga kalian”.

Sekilas sih keliatannya sama, tapi artinya beda jauh, tahu.

Kalau yang pertama, kesannya dia sudah kesengsem sama si gal yang baru muncul—kayak cewek yang dateng belakangan lebih menarik gitu. Si cewek yang sudah suka dari awal jadi keliatan kayak tenggelam.

Tapi kalau yang kedua, walaupun dia menghindar dari urutan siapa duluan atau siapa yang lebih penting, rasanya ada perasaan yang nyambung dari masa lalu, sekarang, sampai masa depan.

Karena yang sudah terjadi itu berharga, makanya sekarang dia tidak bisa asal ngomong. Dan keliatan kalau dia juga ingin terus bareng ke depannya.

Terus terang sih, aku tetap mikir dia pengecut, tapi dengar dia ngomong kayak gitu tuh...

“Nyaa-ha~”

Ah, tuh kan—suaraku yang aneh malah keluar.

Aku jadi ketawa dengan cara yang tidak bakal dilakukan sama si “sempurna” versi Omote!

“Aduh, benar-benar deh. Kamu ini, Otaku-kun, benar-benar. Tidak bisa dimaafkan. Manusia gagal.”

Ngomong kayak host club gitu tanpa sadar pula.

“U-umm, jadi… bolehkah aku menganggap diriku tidak bersalah?”

“Fufu, tentu saja kamu bersalah.”

“Benar juga!”

Tapi sekarang aku ini versi Omote, kan? Aku ini “Sang gadis suci” yang Otaku-kun ingin banget ketemu, kan? Tidak tega juga sih kalau harus ninggalin dia, jadi yah, aku temenin saja.

“Tapi aku ini adalah sang gadis suci. Sudah tugasku untuk membimbing domba-domba yang tersesat. Aku tidak akan meninggalkan siapa pun.”

“Benarkah...!”

“M-meskipun kamu sudah punya tujuh catatan kriminal, aku akan tetap menerimamu!”

“Itu artinya aku sudah berbuat macam-macam dong!?”

Tuh kan, baru saja ngomong gitu, langsung protes kayak tidak pernah ngelakuin apa-apa.

“Yang lebih parah justru kamu, Otaku-san. Kamu ini terlalu bebal. Benar-benar tidak peka... Haaah...”

Yah, meskipun kebebalannya itu juga salah satu kekurangannya yang bikin dia disayang sih.

Rasa jengkelku sudah reda, jadi yuk kita lanjut ke acara utama hari ini.

Pas jadi Ura-chan, dia berani-beraninya main-mainin aku yang waktu itu masih perawan game, ya.

Gara-garanya, aku jadi harus latihan intensif selama seminggu penuh.

Sampai-sampai si maid-chan terakhir bilang,

“Tolong izinkan saya keluar dari ruangan ini, nona muda!”

Maksudku, dia sampai histeris gitu loh!?

Sungguh tidak sopan! Aku Cuma minta dia nemenin aku main sekitar dua belas jam doang, kan.

Hari ini, aku bakal balas dendam puas-puas!

“Maaf… aku sama sekali tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, jadi, itu… aku tidak membawa gamenya…”

“Tenang saja. Sudah aku siapkan di tasku!”

“Kenapa bisa begitu!?”

Ya jelaslah, buat mengalahkanmu!

Selama seminggu tidak ketemu, aku jadi sadar satu hal—ternyata ribet juga ya, kalau satu-satunya cara buat komunikasi itu Cuma ketemu di gerbong ini.

Kalau sampai bikin dia khawatir, aku juga ngerasa tidak enak sih.

Makanya, mulai sekarang…

“...Tapi kalau hanya sekadar main tanding biasa, rasanya agak hambar. Bagaimana kalau kita tambahkan aturan—pemenang boleh memberi

satu perintah apa saja kepada yang kalah?”

“Ugh!?”

Begitu aku mengusulkan “hak untuk memberi perintah bagi pemenang,” seperti yang sudah kuduga, Otaku-kun langsung menyembur tawa. Apa yang aku rencanakan? Itu rahasia sampai waktunya tiba, tentu saja.

“Apakah Otaku-san tidak mau main game denganku?”

“Aku sangat mau!!”

Kamu yang bilang, ya? Itu sudah jadi bukti, lho!

Dan hasil balapan mobilnya tentu saja—YOU WIN!

Tampilan di layar jelas menunjukkan: Cuma Omote-chan yang bisa menang.

“Fufu. Aku jadi juara satu, deh. Otaku-san juga boleh lho mainnya serius. Nih, kamu ketinggalan satu putaran lagi.”

Nishishi… lawanmu tadi terlalu tangguh, ya? Kemenangan mutlak!

“Jadi, bisakah kamu mengeluarkan ponselmu sekarang?”

“Eh!?”

“Pemenang berhak memberikan satu perintah kepada yang kalah. Jangan bilang kamu lupa, ya?”

Dengan enggan, dia menyerahkan ponselnya kepadaku. Berbeda dengan aku yang puas karena berhasil membalas dendam, Otaku-kun benar-benar tidak bisa melawan dan habis-habisan dihajar, kan?

Rasanya agak kasihan juga. Jadi ya, sebagai balasan atas pengabdianmu pada Omote-chan—alias sang gadis suci—aku bakal kasih hadiah besar: kontak pribadiku! Luar biasa banget, kan?

Soalnya, kalau kejadian kayak kemarin terulang dan aku tidak bisa datang karena urusan mendadak, kita tidak bisa ketemu, kan?

Apalagi dia cuma bisa nunggu tanpa tahu apa-apa.

Aku jadi merasa bersalah karena sudah bikin dia setia nungguin kayak anjing peliharaan.

Bukan berarti aku kepikiran bakal enak juga kalau bisa chatting pas sebelum tidur, ya! Sama sekali bukan!

“Eh... ini maksudnya?”

“Aku sudah memasukkan kontakku ke ponselmu. Mulai sekarang, setiap kali kamu bertemu Ura-chan, tolong laporkan apa saja yang kalian bicarakan, ya?”

Tapi serius deh... kontak di ponselnya Cuma ada adik perempuan sama

orang tuanya. Otaku-kun ternyata benar-benar loner sejati, ya.

Rasanya kayak aku baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat.

Tapi ya, kejutan-kejutan kayak gini emang khas dia banget sih.

Tidak sopan sih mungkin, tapi aku jadi agak senang juga—bayangin saja, kontak pertama selain keluarga yang dia simpan adalah aku, Omote-chan.

Hmm, untuk nama kontak... kalau cuma “Omotegawa” itu ngebosenin. Jadi gimana kalau kita pakai 【Sang gadis suci-nya Otaku-san】 saja, gimana? Setuju, kan Otaku-kun?

Balas pesanku dalam tiga detik, ya!

Kalau kamu baca doang terus tidak bales... serius deh, aku tidak akan memaafkanmu!


Previous Chapter| ToC |Next Chapter

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Chapter 1 Vol 1 Ura Gyaru-chan no Adobaisu wa 100-Pāsento Ataru. "Datte Kimi no Suki na Seijo-sama, watashi no Koto Dakara ne."