Chapter 7 Vol 1 Ura Gyaru-chan no Adobaisu wa 100-Pāsento Ataru. "Datte Kimi no Suki na Seijo-sama, watashi no Koto Dakara ne."
Chapter 7
PoV
Tsuchiya Bunta
“Ugh… uuuuh…”
Setelah selesai makan malam, aku duduk di ruang tamu sambil memikirkan sesuatu dengan serius.
Sudah hampir dua jam sejak aku mulai menatap layar ponsel. Mengetik pesan lalu menghapusnya, terus-menerus.
Soalnya, tujuan pengiriman pesan ini adalah—
【Sang gadis suci-nya Otaku-san】
Wah, silau banget! Tulisan ini… terlihat berkilau dan bersinar…!
Rasanya seperti tingkatan SSS yang luar biasa!
Siapa yang bisa membayangkan kalau kontak pertamaku yang kutukar adalah dengan sang gadis suci!?
Bisa punya kontak dia saja sudah seperti hadiah luar biasa… tapi entah kenapa, rasanya berat banget.
Rasanya seperti sedang disuruh membawa koper berisi lima miliar yen. Meskipun aku belum pernah mengalaminya, sih.
Bagi sang gadis suci yang hanya setia pada Ura-chan, kontak denganku hanyalah sebatas penyampaian informasi—semacam cara untuk mengetahui apa yang aku bicarakan dengan Urakawa-san, tak lebih dari itu.
Karena itu, aku merasa sebaiknya tidak menghubunginya sembarangan.
Namun, meskipun begitu—
“Kalau aku tidak menghubungi dia sekarang, bukankah itu juga masalah...?”
Aku adalah penggemar sang gadis suci. Tapi, belakangan ini waktu yang kuhabiskan untuk ngobrol santai dengan Urakawa-san juga jadi semakin berharga.
Dan sang gadis suci, dengan instingnya yang tajam, langsung menyadari hal itu dan segera memberi peringatan padaku—kenangan itu masih segar dalam ingatanku.
Tatapan matanya waktu itu seakan berkata, “Jangan terlalu akrab dengan Ura-chan, ya. Soalnya, kamu kan penggemarku? Ufufu.”
Peringatan itu masih bikin merinding setiap kali aku mengingatnya.
Singkatnya, yang diharapkan dariku sekarang adalah bukti bahwa aku masih seorang fan sejatinya.
Bahwa mataku hanya tertuju padanya—dan tak ada yang lain.
Justru karena itulah, dalam situasi seperti ini, pilihan terbaik adalah menghubungi sang gadis suci.
Soalnya, gimana coba kelihatannya kalau aku sudah dapat kontak “oshi” (idola favorit) tapi malah tidak pernah menghubunginya?
Bukankah itu bisa bikin dia curiga?
Nanti dia malah mikir, “Katanya fans, tapi ternyata yang kamu incar dari awal cuma Ura-chan, ya,” dan salah paham begitu saja.
Kalau sampai kejadian begitu, peranku sebagai “sampel orang biasa” langsung dipecat.
Dan itu... harus kuhindari dengan segala cara──!!
Lagian, fakta bahwa aku adalah penggemar sang gadis suci tuh tidak bisa dibantah!
Kalau sampai dia meragukannya, jujur saja, aku bakal merasa tidak adil banget!
Hanya dengan bisa memandanginya dari jauh saja sudah bikin bahagia, dan sekarang aku bahkan bisa duduk di sebelahnya, lho!?
…Oke! Keputusan sudah bulat. Aku akan kirim pesan! Aku akan kirim sekarang juga! Ini soal keberanian. Ayo, beranilah, Tsuchiya Bunta!
Sebagai otaku yang sopan—seorang penggemar sang gadis suci yang berperilaku baik—aku harus membuktikan itu, dan terus menikmati hari-hari bersekolah bersama mereka berdua dengan bahagia!
Mengirim pesan itu seharusnya bukan hal besar──
『Selama ini aku selalu memperhatikanmu. Hari-hariku terasa begitu bahagia, tak tergantikan. Tapi sekarang, aku tak bisa puas hanya dengan itu. Hanya melihatmu dari sudut pandanganku saja tak cukup lagi untuk menahan perasaan ini! Maka dari itu, izinkan aku untuk terus berada di sisimu dan menjagamu mulai sekarang.』
──TIDAK BISA!!!!!!!!!!!!
Ini jelas tidak boleh dikirim!! Serius, tinggal lima detik lagi sebelum aku dilaporkan!
Memang sih, itu isi hatiku... tapi begitu ditulis dalam kata-kata, langsung terasa aura berbahayanya!
Serius nih!? Ini beneran pesan yang aku tulis sendiri!?
Apa aku berubah jadi orang gila tanpa sadar!?
Rasanya jauh lebih mengerikan dari yang kubayangin! Kenapa bisa jadi begini!?
Tentu saja harus dihapus. Sekalipun tujuannya untuk membuktikan bahwa aku memang fans, ini malah bikin aku kelihatan menyeramkan!
Tenang. Tarik napas dalam-dalam. Hela nafas… buang.
Kalau ditulis ulang dengan gaya yang lebih ringan──
Pesan kayak gini harus dibuat simpel dan to the point.
『Aku menyukaimu. Tolong, tetaplah berada dalam jangkauan pandangku.』
Woooooooi! Aku ngapain sih ini!?
Kalau sampai jadi cinta segitiga yang rumit, terus aku mau gimana!?
“Aduh…!”
Karena terlalu kacau, aku langsung tersungkur ke meja. Gubrak! Wajahku membentur permukaannya.
Rasa sakit yang menyebar di dahiku seakan berkata, “Ini kenyataan, bro.”
Tidak menyangka aku sudah separah ini sampai-sampai tidak bisa mengirim satu pesan yang masuk akal pun.
Level introvert-ku udah mentok banget.
Sepertinya aku harus nurunin penilaian diriku sendiri… tiga level ke bawah.
Ya ampun… kalau ada lubang, aku ingin masuk. Atau sekalian saja dikubur hidup-hidup.
“Sejak tadi kamu bicara sendiri terus. Aku tidak tahan melihatnya.”
Tepat saat aku tersungkur di meja, yang masuk ke ruang tamu adalah adikku, Mai.
Tatapan sinisnya terasa menusuk langsung ke dadaku.
Sepertinya dia baru keluar dari kamar mandi setelah mandi lama. Rambut hitam panjangnya yang berkilau sedang dikeringkan dengan handuk, dijepit dan ditepuk pelan-pelan.
Eh, itu kan kaus edisi terbatas favoritku! Dia nyolong lagi tanpa izin…!
Masuk ke kamar kakaknya tanpa izin dan mencuri barang—itu jelas-jelas pelanggaran. Tidak bisa ngeles. Siapa pun yang melihatnya pasti setuju, tidak ada alasan pembelaan.
Tapi, hal semacam itu bisa dimaafkan di dalam keluarga Tsuchiya.
Adikku, yang menduduki kasta tertinggi di rumah ini, selalu dapat giliran mandi pertama. Di hadapannya, harga diri ayah dan kakak laki-laki tidak ada artinya.
Mai, yang tahun depan akan menghadapi ujian masuk SMA, sangat berbeda dariku—dia pintar, punya kemampuan atletik luar biasa.
Dia punya pesona yang bisa menarik perhatian orang—orang menyebutnya karisma—dan kalau digabung dengan sikap dinginnya serta penampilan yang sedikit tajam, katanya sih dukungan terhadap dia sangat besar di mana-mana.
Menurut ayah, sepertinya aku menuruni gen darinya, sementara Mai mendapat gen dari ibu.
...Ayah, (aku turut prihatin).
Yah, cukup sudah perkenalan menyedihkan yang bisa bikin orang nangis di berbagai arah.
Adikku, yang baru saja menyaksikan pemandangan aku galau sendirian, tampak benar-benar ilfeel.
Jangan lakukan itu, Mai. Itu menyakitkan bagiku.
“S-sebenarnya, aku… aku punya teman.”
“Kucing yang tinggal di dekat rumah?”
“Manusia, dong!”
“Tidak mungkin ada orang di dunia ini yang bisa berteman sama kakak. Ini adalah kejutan terbesar abad ini.”
Sepertinya hanya karena aku berhasil punya satu teman saja, aku sudah membuat kejutan terbesar abad ini. Ngakak. Eh, sebenarnya tidak lucu sih.
Mai tentu tahu kalau kakaknya ini punya masalah dalam bersosialisasi.
Bisa dibilang satu-satunya teman mainku adalah adikku sendiri. Atau lebih tepatnya, itu memang fakta.
Seperti yang sudah kukatakan tadi, wibawa sebagai kakak itu sudah lama hilang tanpa jejak, dan tentu saja aku tidak bisa membantah dia.
“Kalau kamu tidak percaya, ya sudah biarkan saja aku sendiri.”
“Baiklah, aku percaya. Jadi, aku ingin tahu apa yang sedang kamu khawatirkan.”
Mai berkata dengan nada yang agak malas.
Sebenarnya aku ingin mengomentari sikapnya, tapi tetap saja aku bersyukur karena dia masih mau menunjukkan ketertarikan.
Di luar sana, banyak saudara laki-laki dan perempuan yang bahkan tidak pernah ngobrol satu sama lain.
“Ini pertama kalinya aku mengirim pesan ke seseorang yang bukan keluarga, jadi aku tidak tahu harus nulis apa.”
“‘Lagi ngapain?’ aja cukup kok.”
“Tidak bisa begitu dong!”
Aku langsung berdiri karena saking terkejutnya dengan saran yang sembrono itu.
“Kenapa?”
“Langsung nanyain hal pribadi gitu!? Itu terlalu berat! Bagaimana kalau dia malah risih dan jadi malas ngobrol!?”
“Reaksi berlebihanmu itu yang justru menyebalkan.”
Memang tidak diragukan lagi bahwa sang gadis suci berasal dari kalangan bangsawan. Bisa dibayangkan kalau dia sibuk dengan les dan menghadiri berbagai acara sosial.
Dalam situasi tertentu, bisa jadi dia bahkan sedang terlibat dalam perang psikologis.
Dan di tengah semua itu, aku—seorang rakyat jelata—harus mengirim pesan ‘Lagi ngapain’? Aku waras tidak sih!?
Mai tampak heran melihat reaksiku. Tapi, dia tidak menunjukkan rasa meremehkan.
Mungkin memang sedikit aneh, tapi beginilah cara komunikasi antara kakak beradik keluarga Tsuchiya.
Jarak yang terasa santai dan tidak bikin tegang ini, bahkan di masa remaja yang biasanya rumit, entah kenapa justru aku suka.
Kalau ada yang bilang aku kakak yang terlalu sayang adik, mungkin itu benar. Dan yah, aku juga tidak berniat menyangkal sih.
“Aku cuma ingin menjaga baik-baik teman pertamaku. Jadi bisa tidak, tolong pikirin ini lebih serius?”
“Sebaiknya kamu kasih salam ringan, lalu bilang kalau kamu berharap dia bisa balas kalau ada waktu luang.”
“Makanya aku bilang tidak bisa!”
“Aku tidak mengerti. Jelaskan kenapa itu tidak boleh.”
“Bisa jadi dia sibuk banget sampai tidak ada waktu luang!”
“Kamu tuh terlalu sensitif.”
“Kalau begitu aku tanya, bagaimana kalau dia cuma baca tapi tidak membalasnya?”
“Ya tinggal tidak usah dipikirkan saja.”
“Hmph. Kamu tidak mengerti karena kamu belum pernah ditolak, Mai.”
“Tidak mengerti apa?”
“Fungsi blokir! Teman yang tidak tahu diri itu ditakdirkan untuk diputus hubungan, tahu tidak!?”
Soal fitur-fitur pasif semacam itu, aku sudah pelajari sebelumnya. Kekuatan untuk memprediksi risiko dikucilkan—orang lain menyebutnya sikap negatif yang berlebihan.
Ugh, aku sendiri yang ngomong tapi jadi down.
“Mai, kamu tidak apa-apa kalau kakakmu kena mind crash!?”
“Tidak masalah.”
“……” (brwaaah) ← (nyaris nangis)
“Jangan remehkan dunia sosial. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah.”
Adikku benar-benar dingin.
“Bersikaplah lebih lembut! Aku ini satu-satunya kakakmu, jadi bersikap lembutlah sedikit!”
Saat aku hanya bisa memohon dengan putus asa, Mai bergumam, “…Lagipula, kakak tidak butuh teman. Cukup aku saja yang jadi kontak satu-satunya.”
Sepertinya dia sudah kehabisan kesabaran menghadapi kakak yang merepotkan ini. Ekspresinya tampak sedikit kesal.
M-maaf ya, kakakmu ini emang payah!
“Ada satu cara revolusioner untuk menyelesaikan masalah ini.”
“Eh, apa!?”
“Jadikan adikmu sebagai komplotan.”
Mai memiringkan kepalanya dengan sudut yang benar-benar terhitung, lalu menampilkan senyuman menggoda.
Sosoknya benar-benar seperti malaikat yang telah jatuh. Karena dia keluargaku, tentu saja aku tidak merasakan apa pun sebagai seorang laki-laki, tapi aku tidak bisa menahan pikiran, “Pasti dia populer banget di luar sana.”
Masih SMP, tapi sudah punya aura seperti itu. Kakakmu ini khawatir, jangan-jangan nanti kamu bakal jadi cewek berbahaya!
Mai perlahan mendekat, mengurangi jarak di antara kami.
Eh? Apa!?
Terbawa suasana, aku cuma bisa mundur selangkah demi selangkah.
Pasti beginilah rasanya katak yang ditatap ular. Aku bakal dimakan…!
Akhirnya aku terpojok sampai ke pintu ruang tamu.
Mai meraih tanganku dengan gerakan yang hampir melekat, lalu mendekatkan wajah cantiknya hingga nyaris menyentuh telingaku.
“Hauaah!?”
Reaksi seperti gadis yang kena kabe-don (dihadang di dinding).
Tapi yang mengeluarkan suara itu bukan adiknya, melainkan kakaknya, jadi wajar kalau ini bikin kaget.
Bukannya biasanya posisi kayak gini tuh kebalik, ya!?
“—Harusnya dari awal aku melakukan ini.”
“Mai!?”
“Tidak perlu takut. Kalau jatuh ke neraka, kita jatuh bareng.”
Benar-benar bisikan dari iblis.
Jatuh ke neraka… maksudnya kamu mau ngapain!? Kamu mau ngapain ke kakakmu sendiri!?
Aku yang tidak terbiasa diperlakukan seperti itu Cuma bisa diam membeku, tidak tahu harus berbuat apa.
Di tengah rasa tegang dan cemas yang menguasai pikiranku, yang menantiku adalah—,
“—Tinggal tunggu dia yang menghubungi duluan. Ini pola pikir yang terbalik.”
“Eh, haah!? Serius!?”
Nyerah mikir, dong.
Kayaknya dia bener-bener capek ngadepin kakak yang selalu ribet dan banyak alasan.
Dan ternyata dia malah ambil jalan memutar yang tidak kusangka.
“Jadi, sekarang mandi sana. Habis itu bawa cola dan pizza ke kamarku.”
“Tunggu, terus isi pesannya bagaimana!? Bukannya kita mau memikirkan bareng!?”
“Sudah aku pikirkan. Tapi yang nolak ‘kan kakak. Lagipula, aku sendiri tidak pernah mengirim pesan duluan. Mereka yang selalu menghubungiku duluan. Kadang juga aku cuekin saja.”
“Wah gawat! Tingkat ke-manusiaan adikku terlalu tinggi!”
Bukan jadi pihak yang mengejar, tapi jadi pihak yang dikejar. Inilah kekuatan sejati adikku yang mampu memikat orang lain.
Jelas-jelas berbeda jauh dengan kakaknya yang galau setengah mati cuma buat nulis isi pesan.
Tapi tetap saja—
“Menunggu dia menghubungi duluan itu kesannya pasif, tidak sih? Gimana kalau malah bikin kesan buruk?”
“Tolong hentikan omong kosongmu.”
Tatapan tajamnya yang penuh suara seakan berkata: “Itu semua karena kamu terus-terusan ribet mikirin isi pesan, kan!”
Sepertinya adikku sudah memasuki wilayah di mana dia bisa membunuh kakaknya hanya dengan pandangan mata. Ini mafia atau gimana!?
“Kalau kalian memang punya hubungan yang bisa disebut ‘teman’, siapa pun yang mengirim pesan duluan tidak jadi masalah. Setidaknya aku tidak pernah memikirkan soal itu.”
“O-oh, jadi gitu ya...”
“Tentu saja. Kalau kamu masih memikirkan hal sepele kayak gitu, itu artinya hubungan kalian belum setara.”
“Begitu ya. Aku banyak belajar.”
Tanpa sadar, seminar khusus dari sang adik sudah dimulai.
“Kalau kamu yakin sudah punya teman, maka kamu tidak perlu memaksakan diri. Lagipula, itu juga membuatku tidak harus diganggu secara menyebalkan—eh, maksudku, lebih praktis.”
“Iya, terima kasih. Tapi kalau bisa, jangan ngomong jujur-jujur amat dong. Ucapanmu yang direvisi juga tidak ada bedanya sama sekali.”
Jadi dia merasa aku ini nyebelin, ya...!? Jadi begini ya, ikatan antara kakak dan adik!?
Kakakmu ini hampir nangis saking syok-nya!
“Soalnya aku ini adik perempuan cantik yang tidak bisa berbohong sama kakaknya.”
“Kamu tidak terlalu tebal muka, ya? Bisa memanfaatkan kepribadian ‘tidak bisa berbohong ke kakak’ sampai sejauh ini tuh justru luar biasa, lho.”
“Aku jadi malu.”
“Aku tidak memujimu, tahu! Jangan-jangan kamu lagi ngeledek aku ya! Tunggu saja pas aku sudah selesai mandi. Hari ini, aku bakal tunjukin kehebatan seorang kakak kepadamu… dengan semangka!!”
—Kalau memang benar-benar teman, siapa yang lebih dulu mengirim pesan seharusnya tidak jadi masalah. Itu hal sepele.
Aku yang entah kenapa bisa menerima penjelasan itu pun akhirnya memutuskan untuk mandi, sesuai instruksi adikku.
Sambil berendam di air hangat, aku mengulang-ulang kata-kata Mai dalam pikiranku.
“…Hmm.”
Apa yang dia katakan memang tidak salah, kurasa.
Tapi entah kenapa, rasanya tetap ada yang mengganjal.
Seperti ada duri ikan yang menyangkut di tenggorokan—tidak nyaman.
Kalau boleh dibilang, hal yang luput dariku saat itu adalah—
Bahwa aku mengelabui diriku sendiri dengan dalih yang terdengar nyaman; bahwa Mai mengira teman yang kumaksud adalah laki-laki; dan aku sama sekali tidak menyadari hal itu.
Mengalihkan pandangan di saat aku seharusnya mengumpulkan keberanian—harga dari keputusan itu ternyata akan membawaku pada kejadian yang bahkan tak pernah kubayangkan.
PoV
Maid
Salam sejahtera. Saya adalah pelayan sekaligus penggemar nomor satu dari Omotegawa Yui-sama.
Sebagai bagian dari rutinitas harian saya, saya melakukan pengamatan terhadap nona muda. Izinkan saya melaporkan kabar terkini.
Akhir-akhir ini, nona muda tampak sering memperhatikan ponselnya. Sekilas, lalu sekilas lagi.
Sepulang sekolah, Yui-sama terlihat seperti sedang melamun atau pikirannya berada entah di mana.
Bagi seorang murid perempuan SMA, pemandangan seperti ini—di mana ponsel seolah tak bisa dilepaskan—sebenarnya bukanlah hal yang aneh.
Namun, selama ini Yui-sama tak pernah menunjukkan perilaku seperti itu.
Itulah mengapa pemandangan ini terasa begitu langka dan berharga.
Beliau terlihat seolah sedang menanti sesuatu, atau mungkin menantikan sesuatu dengan penuh harap.
Tentu saja, tampak pula campuran antara ketegangan dan kegelisahan.
Ini... mencurigakan.
Naluri saya sebagai penggemar nona muda benar-benar berbicara dengan kuat.
Apakah beliau sedang menunggu kabar dari Otaku-san itu!?
“Maid~”
Hah. Sepertinya saya mendengar suara nona muda memanggil.
Saya langsung menangkap aura dari Yui-sama, dan mengaktifkan salah satu teknik rahasia pelayan: Teleportasi Seketika.
“Anda memanggil saya?”
“Uwah, kaget! Kamu muncul dari mana sih!?”
“Dari tempat yang entah di mana.”
“Itu bukan jawaban, tahu.”
“Saya mendengar suara yang memanggil saya, jadi saya datang dengan melakukan teleportasi.”
“Teleportasi seketika!?”
“Itu adalah salah satu keahlian dasar seorang pelayan.”
“Pelayan mana coba yang punya keahlian kayak gitu...”
Yui-sama menatap saya dengan ekspresi keheranan... Luar biasa! Tatapan tajam gadis cantik seperti itu sungguh memukau!
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku punya banyak hal yang ingin dikomentari sih… tapi, bisa minta pendapatmu soal sesuatu?”
“Dengan senang hati.”
“Umm… apa yang akan aku ceritakan ini soal temanku. Jadi tolong jangan bilang ke siapa-siapa ya.”
Seolah sempat ragu sejenak, tapi dia justru membuka dengan kalimat seperti itu…
Namun, sudah jelas tanpa perlu diragukan lagi—ini pasti tentang Yui-sama sendiri! Sangat kentara!
Pemandangan yang begitu manis ini membuat senyum saya hampir tak bisa ditahan.
“Serahkan saja kepada saya.”
“Kenapa sih muka kamu kayak orang yang sudah tahu segalanya. Gayanya yang sok yakin itu agak nyebelin deh.”
Mungkin suara dengusan hidung saya barusan tidak berkenan di hatinya.
Yui-sama mengerutkan bibirnya, dengan urat di dahinya tampak menonjol.
Wajah marahnya pun… sungguh memesona!
Saat saya sibuk menggunakan teknik rahasia pelayan: Pemotretan Diam-Diam, klik klik…
“M-misalnya, begini…”
Nona muda…! Suara Anda sampai melengking! Tak ada sedikit pun bayangan dari sosok sempurna Anda saat berada di luar rumah.
Gap moe!! (Pesona karena perbedaan sikap!)
“Misalnya, kamu berhasil mendapatkan kontak orang yang kamu kagumi atau idolamu, gitu...”
Gap moe lagi!!
“Seperti halnya jika saya berhasil mendapatkan kontak nona muda, maksud Anda begitu, ya?”
“Terus... kamu tidak langsung mengirim pesan? Maksudku, biasanya sih saking senangnya langsung mengirim dong, ya kan?”
Wah wah... Apakah wajahnya yang memerah itu karena campuran rasa malu dan kesal?
Koleksi foto maid saya akan bertambah lagi berkat ini.
Sebagai kepala pelayan dengan IQ di atas 180, saya mengerahkan seluruh daya pikir demi mempertahankan gelar saya.
Saya mencoba menebak kejadian sebelum dan sesudah Yui-sama memutuskan untuk berkonsultasi.
Akhir-akhir ini, nona muda selalu membawa ponselnya ke mana pun, seolah tak bisa lepas dari genggamannya.
Cara beliau menatap layar, seperti ditarik oleh magnet, jelas menunjukkan bahwa pikirannya tidak fokus.
Dengan kata lain—beliau sudah bertukar kontak dengan Otaku-san itu, bukan?
Nona muda yang sebelumnya hanya menyimpan kontak keluarga dan para pelayan saja...
…hiks. Rasanya tak sanggup menceritakannya tanpa meneteskan air mata. Ini adalah momen di mana saya ingin sekali mendorong punggungnya, memberinya semangat.
Saya pun terus memikirkan hal ini lebih dalam...
Sepertinya sampai sekarang Otaku-san itu belum juga mengirim pesan, sehingga membuat nona muda merasa gelisah dan resah.
Hal itu jelas terlihat dari bagaimana beliau terlihat tidak tenang dan terus-menerus memperhatikan ponselnya sepulang sekolah.
Dari cerita yang saya dengar langsung dari Yui-sama, mudah untuk membayangkan bahwa si otaku itu adalah tipe pria yang pemalu.
Dan lebih dari itu!
Otaku-san bahkan menyebut Nona sebagai “sang gadis suci”—dia benar-benar penggemar berat.
Kemungkinan besar, justru karena nona muda adalah sosok yang sangat ia kagumi, dia jadi tak berani mengirimkan pesan.
Saya sungguh memahami rasa gelisah Yui-sama... sekaligus bisa membayangkan betapa bimbang dan takutnya Otaku-san untuk mengambil langkah.
Karena saya pun—adalah seorang penggemar nona muda!
“Kalau boleh saya ambil contoh dari diri saya sendiri…”
“Ya?”
“Saya rasa, saya juga akan diliputi rasa galau dan sulit untuk mengirim pesan.”
“Eh, kenapa!? Maid-chan ‘kan suka banget sama aku! Bukannya kalau dapat kontak orang yang kamu suka, langsung mengirim pesan secepat kilat!?”
“Justru karena menyukai seseorang, kita jadi lebih berhati-hati. Terlebih lagi… tidak ingin dibenci, tidak ingin mengecewakan, tidak ingin merepotkan... Semakin besar rasa suka itu, semakin kuat pula belenggunya. Jadi, sangat wajar jika akhirnya merasa tak bisa berbuat apa-apa.”
Ini adalah bentuk bantuan dari saya, ya, wahai Otaku-san.
Saya harap Anda akan terus menunjukkan sisi manis nona muda kepada saya di masa mendatang.
“Perasaan itu... b-begitu ya rasanya?”
Yui-sama tampak malu setelah saya mengungkapkan isi hatinya. Beliau menyilangkan tangan dan memalingkan pandangan.
Selama ini, nona muda telah dituntut untuk selalu bersikap seperti putri keluarga besar Omotegawa.
Tak perlu diragukan lagi bahwa ‘Omote-chan’ adalah hasil dari segala upaya dan ketekunan itu.
Namun, yang membedakan Otaku-san dari orang-orang lain sebelumnya adalah bahwa beliau berhasil membangun hubungan yang akrab dengan sisi asli nona muda—‘Ura-chan’.
Dan saya yakin, jauh di dalam hati, Yui-sama sangat senang akhirnya memiliki seorang teman yang dengannya beliau bisa berbicara tanpa harus berpura-pura.
“Kalau memang sebegitu penasaran, bagaimana kalau Anda saja yang lebih dulu menghubungi beliau, nona muda?”
“Haaah!? Jadi kesannya kayak aku yang nungguin pesan dari Otaku-kun dong!”
Nona muda!!! Anda sedang jadi ponkotsu! (Ponkotsu: imut tapi ceroboh/tidak sempurna!)
Anda barusan keceplosan menyebut “Otaku-kun”! Ke mana perginya skenario bahwa ini hanya cerita tentang “teman”!?
Jangan-jangan… Anda sendiri belum menyadari betapa Anda sangat menantikan pesan darinya!?
“Kalau cewek yang menghubungi duluan, nanti jadi tidak seperti latihan, dan dia malah jadi besar kepala—tidak boleh!”
Sekarang Anda bahkan sudah tak mencoba menyembunyikannya lagi, ya!?
Dan sekarang alasannya “karena nanti bikin dia jadi besar kepala” pula.
Padahal sepanjang hari Anda terus-menerus melirik ponsel—bagaimana bisa Anda mengucapkan hal seperti itu dengan wajah tanpa dosa?
Sebagai penggemar berat nona muda, saya tentu bisa menerima segala sisi diri beliau… tapi tetap saja, ada batasnya juga.
Kepribadian yang agak merepotkan itu—sebaiknya mulai dikendalikan, menurut hemat saya.
Meskipun, tentu saja, saya takkan pernah berani mengatakannya langsung.
“Lagi pula... meskipun aku mau menghubungi duluan, aku juga tidak tahu harus menulis apa.”
Dan di sinilah masalahnya, nona muda! Anda sedang bersikap seperti melempar batu sembunyi tangan terhadap diri sendiri!
Otaku-san persis sedang mengalami hal yang sama!
Saya rasa, sedikit saja pengertian dari Anda takkan membawa kerugian apa pun.
Namun, rasa malu itu sungguh luar biasa!! Imut banget! Nona muda kita ini memang yang paling imut sedunia!
Andai saja beliau menunjukkan sisi ini padanya, semuanya pasti langsung terselesaikan!
Saking gemasnya melihat tingkah sang idola, saya nyaris melompat karena tak tertahankan—namun akhirnya saya menggigit lidah sendiri, lalu berkata,
“Merangkai kata saat tidak tahu harus menulis apa justru bisa jadi bagian yang menyenangkan, bukan?”
“Tapi... aku tidak mau menganggu dia juga.”
Seorang gadis yang sedang jatuh cinta!
“Kalau Anda tidak memaksanya untuk langsung membalas, kurasa tidak akan jadi masalah, bukan?”
“Justru kalau cuma dibaca terus tidak dibales itu lebih menyakitkan…”
Saya ulang—SEORANG GADIS YANG SEDANG JATUH CINTA!!
“Kalau hanya untuk menyunting pesan, saya rasa saya bisa membantu, kok…”
“Lagian, Maid-chan ‘kan masih jomblo, ya? Emang kamu punya banyak pengalaman soal beginian?”
Nona muda!!!!
Apa-apaan tatapan curiga itu!? Anda akhirnya mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulut Anda! Saya sudah bersikap tulus, mendengarkan dengan sepenuh hati, dan Anda malah…
Sang pelayan murka. Ia bersumpah akan menyingkirkan nona muda yang kejam dan tiran itu…
—Tidak, tidak. Ini bukan saatnya saya berubah menjadi Melos. Walaupun saya benar-benar merasa kesal di dalam hati, saya tidak akan menunjukkan kemarahan saya di hadapan nona muda.
“……”
“Pembuluh darah di keningmu mau pecah tuh, Maid-chan. Sepertinya aku mengenai sasaran. Maaf, maaf banget…”
Sambil menyatukan kedua tangan dan menatap dari bawah dengan tatapan memohon maaf—sungguh pemandangan yang menggemaskan. Berkat itu saya berhasil mengendalikan diri kembali.
“...Lain kali, jangan di ulangi lagi, ya.”
“Maaf ya, beneran deh—terus, boleh minta bantuan lagi? Kamu punya ide lain tidak?”
Nona muda memiringkan kepala dengan sudut yang terukur sempurna. Gerak-gerik yang manja dan memikat.
Ini adalah jurus pamungkas. Informasi visual di depan mata ini tak lain adalah kekuatan penghancur. Hanya mereka yang sadar sepenuhnya akan kelucuan diri sendirilah yang mampu mengaktifkan teknik rahasia ini.
Kemarahan saya yang tadi pun langsung lenyap seketika.
Meskipun saya tak punya ide cemerlang, saya harus memaksakan diri untuk menemukan sesuatu.
Ini adalah saat di mana eksistensi saya sebagai maid benar-benar dipertaruhkan. Maka saya putar otak sekuat tenaga.
“...Metodenya mungkin tidak terlalu elegan, tapi…”
“Jangan pakai basa-basi, langsung kasih tahu saja.”
“Menurut saya, cukup efektif untuk menciptakan situasi di mana dia terpaksa menghubungi Anda duluan.”
“Eh? Emang ada trik kayak gitu?”
“Misalnya saja──”
“Iya, iya?”
“──menghilang beberapa hari dan tidak menunjukkan diri.”
Mendengar usulan dari saya, mata Yui-sama langsung membelalak.
Ekspresinya benar-benar seperti baru saja disambar petir di siang bolong.
“Wah, Maid-chan, kamu pintar banget, ya! Iya juga sih, kalau tiba-tiba tidak kelihatan pasti bikin khawatir. Sekarang ‘kan udah ada cara buat menghubungi, jadi bisa dibilang ini ide bagus!”
“Saya sangat berterima kasih atas pujiannya.”
Memang ada pro dan kontra untuk strategi semacam ini, karena tujuannya adalah menarik perhatian. Tapi melihat nona muda tampak begitu bahagia membuat saya ikut merasa senang.
Namun, satu hal yang luput dari perhatian kami saat itu──adalah kenyataan bahwa Otaku-san ternyata jauh lebih penakut dari yang kami bayangkan.
Langsung ke kesimpulannya saja.
Setelah mengganti transportasi dari kereta menjadi mobil pribadi selama seminggu, yang menanti Yui-sama adalah… tidak ada satu pun pesan masuk.
Awalnya saya kira beliau akan merasa sedih, tapi hari demi hari, justru kemarahan yang makin membara.
Sepertinya hubungan antara nona muda dan Otaku-san bukan hanya sebatas teman, tapi juga menyerupai relasi guru dan murid.
Dan kini, sang guru tampaknya tak bisa diam saja melihat kebodohan muridnya.
Hubungan mereka berdua sungguh… aneh.
Otaku-san adalah contoh orang biasa, sahabat, objek dan subjek fangirling, sekaligus murid. Semuanya dalam satu paket.
Kini, nona muda melepaskan kepangan half-up-nya dan mengurai rambutnya menjadi lurus. Sembari membakar amarah yang menyala-nyala.
Dengan bunyi ‘krek-krek’ dari jari-jarinya yang diregangkan, beliau berubah ke mode asli: Ura-chan.
Awawawa…!
“Kalau dia bersikap seperti itu, ya aku juga harus ambil langkah tegas dong. Maid-chan juga setuju, kan?”
Hiiih! Sekilas tampaknya beliau tersenyum anggun seperti seorang wanita terhormat, tapi… sorot matanya sama sekali tidak ikut tersenyum!
M-maafkan saya, nona muda… juga Anda, Otaku-san. Karena usulan ceroboh saya, semuanya jadi seperti ini… Tapi! Demi mempertahankan keselamatan diri sendiri, izinkan saya membela diri──
Sebenarnya, dua-duanya sama-sama salah!
Previous Chapter| ToC |Next Chapter
Komentar
Posting Komentar