Chapter 5 Vol 1 Ura Gyaru-chan no Adobaisu wa 100-Pāsento Ataru. "Datte Kimi no Suki na Seijo-sama, watashi no Koto Dakara ne."
Chapter 5
PoV
Tsuchiya Bunta
Besok begitu dinantikan.
Aku merasa bersemangat seperti anak SD yang menanti acara tamasya.
Tak kusangka hari akan tiba di mana aku bisa pergi ke sekolah bersama simbol kehangatan—sang gadis suci.
Aku masih tak percaya akan keberuntungan yang menghampiriku.
Tentu saja, aku tidak boleh kehilangan tujuan.
Aku hanyalah sampel rakyat jelata. Tugasku adalah memberikan wawasan tentang kehidupan murid laki-laki.
Lalu, topik seperti apa yang sebaiknya kubicarakan?
Yah, mengingat aku ini orang yang introvert, pilihan topikku cukup terbatas.
Novel, manga, game, anime, film...
Hmm, seperti yang sudah kuduga, hobi-hobiku benar-benar indoor semua, ya.
Soal kafe yang keren, makanan manis yang lezat, tren terbaru, layanan populer, atau kegiatan luar ruangan—aku benar-benar buta soal itu.
Aku bisa menyatakannya dengan bangga: Aku sama sekali tidak tahu apa-apa!
Jika sang gadis suci tidak tertarik pada hobi-hobi yang bersifat introvert, maka itu sama saja mengatakan bahwa dia tidak cocok denganku, Tsuchiya Bunta, sebagai pribadi.
Namun, itu bukan sesuatu yang bisa kuperbaiki begitu saja dalam waktu singkat.
Lebih baik aku menyerah dan bersikap apa adanya. Jika gagal, ya sudah. Biarkan Urakawa-san yang menilainya sendiri.
Jadi, meskipun terasa agak sederhana, aku memutuskan untuk membawa game. Masukkan ke dalam tas sekolah!
Aku memilih game yang bisa dimainkan bersama. Yang itu, di mana kita melemparkan cangkang dan kulit pisang sambil berusaha finis di posisi pertama.
Kalau dilakukan di jalan raya sungguhan, pasti langsung masuk penjara—sebuah game balapan yang paling seru dan heboh.
Game adalah hiburan yang diciptakan dengan penuh pemikiran oleh orang-orang dewasa yang brilian. Tidak mungkin tidak menyenangkan, kan?
Dengan ini, aku bisa menghindari keheningan canggung dalam percakapan, dan kami bisa berbagi keseruan saat terjadi momen tak terduga dalam permainan.
Menurut Urakawa-san, sang gadis suci adalah seorang ojou-sama. Ada kemungkinan besar dia tidak terlalu familiar dengan hiburan seperti game.
Namun, sambil bersenang-senang, dia juga bisa belajar tentang hal-hal yang disukai dan dimainkan oleh murid laki-laki. Benar-benar sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Tapi jujur saja, itu cuma alasan bagus yang kubuat-buat. Kenyataannya, aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk menghabiskan waktu bersama sang gadis suci.
Ya mau bagaimana lagi!? Aku ini cuma seorang otaku pengecut yang bahkan belum pernah mengobrol dengan cewek secara wajar! Kalau ada sesuatu yang bisa kugunakan, ya tentu saja aku akan menggunakannya! Apa salahnya, hah!? (tiba-tiba marah tanpa alasan)
──Dan begitulah, keesokan paginya.
Seperti biasa, aku naik kereta di waktu dan gerbong yang sama. Tapi yang menungguku hanyalah ketiadaan sang gadis suci.
Begitu aku menyadarinya, keringat dingin langsung mengalir. Ya, tentu saja.
Sampai beberapa saat yang lalu, aku sibuk berkhayal tentang betapa serunya bermain game bersama gadis cantik.
Mengajarinya cara bermain untuk pertama kali, tertawa bersama saat dia kesulitan mengendalikan karakter—momen-momen kecil yang terasa seperti potongan dari kisah remaja yang seharusnya tak pernah kumiliki.
Itu seharusnya menjadi pengalaman berharga bagiku.
Namun kenyataannya, dia tidak ada di sini.
Dan kamu pasti sudah tahu apa artinya ini.
“Ah, ketemu!”
Begitu suara itu terdengar dari luar pandanganku, musik khas kemunculan seseorang langsung bergema di kepalaku.
Dun dun dun, dun dudun~ dun dudun~♪
Lagu ikonik yang semua orang pasti pernah dengar setidaknya sekali dalam hidup—tema dari simbol kejahatan, Darth Vader.
“I’ll be back.”
Urakawa-san yang menemukanku langsung mengacungkan jempol.
Jadi yang muncul ternyata Terminator, bukan Darth Vader…?
Padahal aku sudah berharap bisa bermain game dengan sang gadis suci, jadi perbedaannya benar-benar drastis.
Rasanya seperti jatuh dari surga ke neraka dalam sekejap.
Aku sampai bertanya-tanya, ini masih kereta sekolah atau aku malah naik roller coaster?
“Oh, selamat pagi, Urakawa-san...”
“Reaksimu gampang ditebak. Kamu sebegitu inginnya bertemu Omote-chan?”
“H-Haua!?”
Ah, sial! Suara aneh keluar dari mulutku! Ini gawat! Kalau aku menunjukkan kelemahan, dia bakal makin senang menggodaku!
“Kena, kan? Wkwk.”
“……Maaf.”
Panas. Aku bisa merasakan wajahku memerah.
Baru lima detik bertemu, dan dia sudah menebak dengan tepat betapa kecewanya aku karena tidak bisa bertemu dengan sang gadis suci…!
Aku sendiri terkejut betapa mudahnya diriku ditebak.
“Maaf, ya. Yang datang malah gadis gal cantik dengan kaki panjang seperti model.”
“!?!?!?!?”
Eh, tunggu, ha—eh!?
K-kenapa dia bisa tahu itu!?
Berbeda dengan aku yang masih mencoba memahami situasi, Urakawa-san malah menatapku dengan senyum penuh arti.
Jelas sekali—dia menikmatinya.
Lagi!? Aku jadi mainan lagi!? Orang ini benar-benar berniat menjadikanku bahan hiburan!
Dengan gerakan yang alami, Urakawa-san duduk di kursi sebelahku, lalu menoleh dengan wajahnya yang rupawan.
……S-sang gadis suci!!!!
Apa-apaan perkataanmu kemarin!?
Katanya “Aku ini tipe orang yang bisa menjaga rahasia”!?
Padahal buktinya kamu super gampang membocorkannya!!!! Serius, gampang banget!?
Aku sama sekali tidak menyangka bakal dipermainkan begini, apalagi secepat ini!!
Aku ingin sekali mengeluh, tapi tidak bisa menyangkal fakta bahwa aku, si cowok berwajah biasa ini, memang sempat memuji penampilan Urakawa-san.
Rasanya seperti ingin masuk ke dalam lubang. Tidak, lebih tepatnya, ingin terkubur hidup-hidup.
“……Demi kewarasanku sendiri, bisakah kamu melupakan itu…?”
Dengan rasa malu yang sudah menembus batas tertinggi, aku hanya bisa menunduk dan memaksakan suara keluar.
Aku bahkan tak bisa menahan diri untuk tidak menutupi wajah dengan kedua tangan.
Serius, mendengar langsung dari orang yang kupikir cantik bahwa aku menganggapnya begitu—ini terlalu memalukan! Dasar gadis suci yang jahat!
“Melupakan? Tidak, tidak, mana mungkin aku lupa.”
Tentu saja!
“Jadi, kamu naik kereta ini hanya untuk menggodaku? Menggantikan sang gadis suci?”
“Itu benar. Aku sampai bela-belain bangun pagi demi Otaku-kun yang, entah bagaimana, selalu menikmati obrolan denganku. Harusnya kamu berterima kasih, tahu? Aku benci bangun pagi.”
“Semuanya kedengaran jelas, dong!”
“Ahaha! Sudahlah, tenang aja. Aku tidak akan memakanmu hidup-hidup~.”
Masalahnya, kalau itu Urakawa-san, rasanya kemungkinan itu tetap ada…!
“Kamu benar-benar punya sifat yang menyebalkan.”
“Jangan cemberut begitu, dong. Oh ya, ada satu hal yang ingin aku pastikan kamu ingat.”
“…Apa?”
“Dipuji itu tidak pernah terasa buruk, tahu.”
“Maksudnya…?”
Jadi, bahkan dia pun sedikit senang dipuji olehku?
Kalau begitu, setidaknya rasa malu yang tadi kualami tidak sia-sia—
“—Tapi, tentu saja, itu hanya berlaku kalau yang memujinya cowok ganteng.”
“Itu tidak adil, dong!?”
Catatan tambahannya terlalu kejam!!
“Kalau yang ngomong bukan ganteng, ya… aku cuma bakal bilang ‘Oh, gitu ya.’”
“Padahal aku sudah mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya!”
“Ah, dan ngomong-ngomong, Otaku-kun sama sekali tidak mendekati definisi ganteng, sih.”
“Wah, ini dia! Serangan terakhir! Benar-benar penghinaan! Itu beneran perlu diucapkan, ya!?”
“Dengar-dengar, gal itu selalu memberikan yang terbaik, bahkan saat sedang ‘memburu’ otaku.”
“Tolong jangan bandingkan ini dengan pepatah ‘Singa memburu kelinci dengan segenap kekuatannya’!?”
“…Ah, kamu mengerti referensinya? Wah, keren. Sepertinya kamu memang punya bakat jadi korban keisenganku, nih?”
“Tidak butuh. Aku sama sekali tidak butuh bakat semacam itu.”
Meskipun aku mengatakan begitu, aku tak bisa menyangkal bahwa sebenarnya aku menikmati obrolan ini.
Jujur saja, ini menyenangkan. Katanya, komedian merasa “beruntung” kalau bisa dijadikan bahan candaan. Dan entah kenapa, aku mulai memahami perasaan itu.
Mungkin karena Urakawa-san punya aura yang begitu friendly. Rasanya tidak perlu menjaga jarak. Dibuat bahan candaan justru membuat suasana jadi lebih santai dan mudah diajak bicara.
…Tapi tetap saja, dia punya sisi tegas seperti seorang mentor, jadi aku tidak bisa benar-benar merasa sepenuhnya nyaman juga.
“…Ehem.”
Urakawa-san berdeham pelan.
Merasa ada yang janggal, aku melirik ke arahnya.
Gadis yang tadi menikmati saat-saat menggodaku kini tidak terlihat lagi. Yang lebih aneh lagi, dia tidak menatapku.
Entah dari mana, dia mengeluarkan sapu tangan hitam, lalu menyodorkannya ke arahku.
Masih tidak menoleh, dia menatap lurus ke depan, menopang dagunya dengan tangan, lalu berkata—
“…Ini, terima kasih.”
Suaranya terdengar lebih kecil dari biasanya. Sepertinya dia sedang mengucapkan terima kasih padaku.
Meskipun permintaanku terkesan tiba-tiba, sang gadis suci tetap bergerak dengan cepat.
Tak kusangka, hanya dalam sehari, dia sudah memilikinya. Luar biasa.
Dia menanggapinya begitu cepat, sampai-sampai aku yang memberikannya malah jadi terkejut sendiri.
“Eh, ah… aku merasa terhormat…”
Karena suasana yang jarang terjadi ini, tanpa sadar aku menggaruk bagian belakang kepalaku—kebiasaan lama.
“Lho, kenapa malah Otaku-kun yang jadi malu?”
“Aku memang kurang pandai mengekspresikan diri.”
“memangnya kamu Takakura Ken?!”
“…Ehm, aku hanya ingin berterima kasih karena selama ini kamu banyak membantuku. Ini caraku menunjukkan rasa terima kasih itu… meski jadi terasa agak tidak langsung.”
Urakawa-san punya aura yang mudah menular. Akibatnya, aku sendiri jadi tidak bisa melihat ke arahnya.
Kami berdua sama-sama mengalihkan wajah, menatap jendela kereta di depan.
Berbeda dengan waktu yang terasa berjalan lambat, pemandangan kota di luar terus berganti dengan cepat.
“Rasa canggung itu, yah… aku juga cukup mengerti. Tapi, setidaknya kamu berhasil memberikannya ke Omote-chan, jadi aku kasih nilai hampir lulus.”
“Itu kan tetap gagal! Tolong kasih nilai lulus dong!”
“Tidak bisa, tidak bisa. Soalnya warnanya itu, lho. Masa kamu kasih hitam buat cewek?”
“Ah, soal itu ya. Sebenarnya aku sempat bingung, tapi ada alasannya, kok.”
“Hmmm.”
“Kok mendadak tidak tertarik!?”
Kalau dia sudah kehilangan minat di sini, aku jadi tidak bisa menjelaskan alasanku!
“……”
“……”
“……” (bersamaan)
Hening! Seriusan kita malah diam-diaman! Wow. Jadi begini juga bisa dijadikan cara untuk menggodaku.
“…Oh? Jadi, kamu ingin aku menanyakannya?”
“Aku bahkan tidak terpikir kalau ada pilihan untuk tidak bertanya dalam situasi ini.”
“Ahaha, santai saja. Aku cuma bercanda. Aku benar-benar penasaran, kok. Lagipula, alasan aku naik kereta ini memang untuk mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“Oh, jadi memang begitu, ya.”
“Kamu sudah menyadarinya?”
“Aku sempat merasa begitu. Soalnya, meskipun suka menggoda, Urakawa-san itu sebenarnya cukup teguh pada prinsipnya.”
Setidaknya, aku sudah berpikir bahwa kami pasti akan bertemu lagi dalam waktu dekat.
Meskipun, tentu saja, aku sama sekali tidak menyangka dia akan muncul di kereta ini menggantikan sang gadis suci.
“…Kamu bicara seolah-olah sudah sangat mengenalku. Jadi? Ayo, jelaskan kenapa kamu memilih warna hitam.”
“Urakawa-san dan Saint-sama kan saling memanggil Ura-chan dan Omote-chan, menunjukkan kedekatan kalian.”
“Ya, memang begitu.”
“Karena omote dan ura itu artinya ‘depan’ dan ‘belakang’, aku pikir akan cocok kalau warna kalian juga kontras.”
“Omote-chan yang seperti malaikat cocok dengan warna putih. Jadi maksudmu aku ini iblis yang pakai warna hitam? Hei, kamu ngajak ribut?”
Nada suara Urakawa-san mendadak terdengar mengancam. Tatapannya cukup tajam untuk membuat anak kecil menangis.
“…S-Salah paham, kok?”
“Matamu jelas lagi mencari jalan kabur.”
“Maksudku… oke, aku tidak bakal bohong, aku sempat kepikiran bercanda seperti itu. Tapi alasan aslinya beda.”
“Wah, kamu jujur juga, ya. Tapi tetap saja, masa kamu sebut gadis baik hati dan perhatian sepertiku sebagai iblis.”
Apakah itu hanya perasaanku, atau suaranya terdengar sedikit kecewa?
Bagaimanapun juga, ada satu hal yang harus aku sampaikan.
“Berbeda denganku yang plin-plan, kamu selalu cepat dalam mengambil keputusan dan bertindak. Yang paling penting, kamu punya prinsip yang kuat… Jadi, kupikir warna hitam cocok untuk gadis keren dan berwibawa sepertimu.”
Wajahku kembali terasa panas. Aku benar-benar butuh mental yang cukup kuat untuk bisa mengungkapkan perasaan seperti ini dengan santai. Sungguh.
“Begitu, ya.”
Sementara itu, Urakawa-san tetap seperti biasa. Jika harus dibilang, reaksinya malah terkesan datar.
Mungkin dia sudah terbiasa mendengar pujian seperti ini.
Bisa jadi, kalau yang mengatakannya Cuma pria biasa sepertiku, reaksinya hanya sebatas “Ah, ya, oke.”
“Kalau begitu, kamu kumaafkan. Sungguh, terima kasih ya, Otaku-kun. Aku akan menggunakannya dengan baik.”
“Kalau begitu, aku senang mendengarnya.”
“……”
Hari ini, entah kenapa, ada banyak momen hening.
Aku sendiri sudah cukup kewalahan hanya dengan mengungkapkan isi hatiku, sementara Urakawa-san ada di posisi yang menerima rasa terima kasih.
Mungkin, dalam situasi seperti ini, wajar saja jika obrolan jadi sedikit tersendat.
Saat aku melirik ke samping, entah kenapa, Urakawa-san terlihat mencubit pipinya sendiri.
Sebelum aku sempat memahami apa yang dia lakukan, dia berbisik pelan, “Baiklah,” lalu menoleh ke arahku.
“Masih ada waktu, jadi bagaimana kalau kita lanjut dengan kebiasaan lama? Saatnya mengusili Otaku-kun lagi.”
“Tolong, aku menolak dengan sepenuh hati!”
Aku langsung merespons secara refleks, tapi jujur saja… aku sedikit lega.
Entah kenapa, suasana canggung saat hanya berdua dengan Urakawa-san membuatku merasa tidak nyaman.
Rasanya lebih mudah ketika dia menggodaku seperti biasa. Seolah-olah segalanya kembali ke tempatnya.
Tunggu… jangan-jangan aku benar-benar seorang M?
“Oh iya, aku dengar sesuatu, lho. Katanya Omote-chan sendiri yang memintamu jadi sampel?”
Dengan ekspresi penuh arti, dia menyikut pinggangku.
Sepertinya dia sudah benar-benar kembali ke mode biasanya.
“Ya. Berkatmu, aku sekarang diminta langsung oleh Saint-sama untuk jadi teman ngobrolnya.”
“Hebat, dong.”
“Iya! Aku benar-benar senang!”
“Ugh, senyum lebar seperti itu… tolong jangan di tunjukkan kepadaku.”
“Eh, kenapa?”
“…Itu… aku tidak bisa mengatakannya.”
“Kenapa tidak!? Aku malah lebih suka kalau kamu terus terang!”
“Aduh, dasar lamban. Kamu sama sekali tidak peka, ya. Sifat kayak gitu beneran jahat, tahu tidak?”
“Bagian yang mana…?”
“Ya bagian itu!”
Saat aku masih kebingungan, dia tiba-tiba menunjuk ke arahku dengan gerakan tegas.
“Tapi kalau dari alur pembicaraan tadi, jawaban yang benar itu ‘karena menjijikkan’, kan?”
“Lupakan itu. Kamu harusnya jadi teman ngobrol Omote-chan, kan? Rencana mau ngobrolin apa?”
Tatapan penuh harap.
Lalu, aku langsung diselimuti rasa cemas. Tanpa sadar, aku memeluk tas sekolahku erat-erat.
Memang, rencana awal pagi ini adalah menemani sang gadis suci. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau bakal ditanya ini oleh Urakawa-san.
Ya, meskipun di kehidupanku ini, tidak ada satu pun hal yang berjalan sesuai rencana sih.
Tapi tetap saja, ini buruk…!
Kalau aku jujur bilang, “Aku mau main game bareng dia!”, pasti bakal langsung dianggap aneh. Dijamin.
Otaku-kun. Lalu, nasehat panjang pun akan dimulai.
“──Tentang situasi dunia belakangan ini, mungkin?”
“Kenapa tiba-tiba ngomongin itu?”
Dengan wajah penuh keyakinan, aku mengatakan itu, tapi yang kudapat dari Urakawa-san hanyalah tatapan malas, seolah ingin berkata, “Kamu bodoh, ya?” Tatapan khas yang sering disebut jito-me.
“Kebalikannya, menurut Urakawa-san sendiri bagaimana?”
“Kebalikannya apanya? Jelas banget kamu lagi ngeles. Sudah, cepat mengaku saja biar lega.”
Habis sudah. Akting kelas tiga jelas tidak akan bisa menipu Urakawa-san yang tajam dalam menilai orang. Tatapan jengkel dari seorang gal ini seperti tusukan yang terus menghantam dadaku tanpa henti.
HP-ku sudah hampir habis, padahal aku bahkan belum melakukan apa-apa. Tak ada pilihan lain.
Dalam kondisi seperti ini, aku hanya bisa menggunakan jurus terakhir—hak untuk diam!
Dan lawan yang menghadapinya pasti akan… kerepotan!
“……”
“Hah?”
Se... se... se... se... se... ram!! “Hah?” dari seorang gal itu SERAM banget!!
Kalau seseorang menerima tatapan seperti itu, bahkan penjahat paling keras kepala pun pasti langsung mengaku! Apa itu tadi!? Itu benar-benar suhu nol mutlak!
“A-a-a... a...”
“Tenang. Kamu kelihatan kayak otaku yang lagi panik, tahu. Lagipula, apa sih yang mau kamu obrolin sampai segitunya? Jangan-jangan sesuatu yang mesum?”
“TIDAK!!”
“Oh? Bagian itu langsung kamu bantah mati-matian, ya.”
“Jelas dong! Ngomongin hal mesum ke sang gadis suci!? Tidak, tidak, tidak! Aku belum bosan hidup, tahu!?”
“Kalau begitu, apa yang mau kamu obrolin? Buruan ngaku, kita sudah hampir sampai nih.”
Guh... apa ini berarti aku sudah kehabisan cara? Bahkan kartu asku—hak untuk tetap diam—dengan mudahnya dihancurkan oleh satu “Hah” dari gal ini.
“Sebenarnya──”
Pasrah dengan nasib, aku perlahan mengeluarkan konsol game dari tas sekolah yang kupeluk erat.
Begitu melihatnya, tatapan Urakawa-san langsung berubah tajam.
Selesai sudah...! Tidak diragukan lagi, aku bakal kena nasehat panjang!
“Otaku-kun──”
Biasanya suaranya dua nada lebih rendah. Iya, tentu saja. Wajar kalau marah, kan?
Mengusulkan bermain game sebagai topik pembicaraan mulai besok? Bahkan aku sendiri merasa itu terlalu dangkal. Sungguh menyedihkan.
Saat aku bersiap untuk meminta maaf sambil menerima teguran dari Urakawa-san, tiba-tiba sesuatu terjadi.
“──Luar biasa banget!”
“Eh?”
Reaksi yang penuh rasa ingin tahu. Kalau ada latar belakang dan efek suara, pasti bakal berkilauan.
Tapi, tunggu… Terlalu dekat! Serius, terlalu dekat! Wah, bulu matanya panjaaaang banget!
Dan baunya… enak banget!!
“Aku belum pernah bermain game sebelumnya. Dari dulu selalu ingin coba setidaknya sekali.”
Urakawa-san mendekat, benar-benar antusias. Reaksi ini kebalikan dari yang aku bayangkan!
Tapi yang bikin aku penasaran adalah…
“Aku?”
Tadi kan aku sedang ditanyai tentang apa yang mau kubicarakan dengan sang gadis suci.
Tapi tiba-tiba, topiknya berubah dari sang gadis suci ke Urakawa-san. Aku jadi bingung.
“Ah.”
“Ah?”
“T-tentu saja maksudku adalah Omote-chan yang belum pernah main game sebelumnya.”
“Oh, begitu maksudnya. Memang ada kasus di mana seseorang tidak diizinkan bermain game karena alasan pendidikan. Kalau begitu, apa yang ingin kulakukan tadi mungkin agak bermasalah…”
Seorang putri terpandang yang bahkan belum pernah bermain game dengan teman dekatnya sendiri.
Kalau aku, yang tidak jelas asal-usulnya, tiba-tiba mengenalkannya pada dunia game, bukankah itu bisa jadi masalah besar?
“──Tidak apa-apa! Ajak saja dia!”
“Eh?”
“Mengajari seorang gadis lugu tentang kebiasaan anak laki-laki. Bukankah itu memang tujuan dari ‘sampel rakyat jelata’? Malah menurutku ini ide bagus!”
“Tapi… membiarkan dia main game itu lebih berbahaya dari yang kamu kira, lho?”
“Berbahaya?”
“Begitu masuk, susah keluar, seperti terjebak di rawa.”
“Jadi ada efek adiktif, ya… Memang kalau begitu, tidak bisa direkomendasikan sembarangan.”
“Benar, kan? Wah, untung saja yang naik kereta pagi ini adalah Urakawa-san. Hampir saja terlambat untuk mencegah—“
“—Kalau begitu, kita coba dulu denganku.”
“…Hah?”
Apakah orang ini benar-benar mendengarkan ucapanku tadi?
“Kan demi sahabatku? Anggap saja eksperimen. Aku mau memastikan dulu apakah Omote-chan bakal ketagihan atau tidak.”
Entah kenapa, ini pertama kalinya aku melihat sisi Urakawa-san yang seperti ini. Bukan hanya tertarik, tapi juga seperti benar-benar bersemangat. Terasa sekali ada paksaan dalam sikapnya.
“Umm… jangan-jangan… kamu sebenarnya ingin bermain game, ya?”
“Hah? Aku cuma mau memastikan apakah ini berbahaya buat Omote-chan atau tidak. Kamu mendengarkanku tidak, sih?”
Sebuah tekanan yang tak membiarkan bantahan.
Kalau ada yang melihat dari luar, pasti kelihatan seperti seorang otaku yang sedang diintimidasi oleh seorang gal.
Tatapan matanya seolah berkata, “Udah, cepetan kasih aku main.”
“…Silakan.”
“Umu. Bagus, bagus.”
Begitu aku menyerahkan konsol game padanya, aku langsung terkejut.
Terbalik! Eh, tunggu, cara megangnya kebalik!?
“Hee, layarnya tetap gelap, nih.”
Eh!? Serius!? Jangan-jangan dia bahkan tidak tahu cara nyalainnya!?
Sampai segitunya… Aku jadi kepikiran macam-macam, nih.
Seorang gadis dari keluarga terpandang yang bersekolah di akademi swasta ternama—itulah sosok sang gadis suci. Dan sebagai teman dekatnya, Urakawa-san juga kemungkinan besar seorang putri dari keluarga terhormat, meskipun penampilannya tidak mencerminkan itu.
Aku memang tidak mau mencampuri urusan pribadi mereka, tapi kemungkinan besar dugaanku benar.
Dengan kata lain, ada kemungkinan besar bahwa baik sang gadis suci maupun Urakawa-san sama sekali belum pernah bermain game sebelumnya.
Sebagai seseorang yang sudah terpikat oleh dunia game sejak kecil, aku sama sekali tidak bisa membayangkan hidup seperti itu.
“Uhm, pertama-tama, cara pegangnya seperti ini, lalu tombol power ada di sini—”
Aku mulai menjelaskan semuanya dari awal, dengan sangat hati-hati agar tidak menyentuh tangan Urakawa-san.
Kupikir aku hanya akan perlu menjelaskan cara bermain, tapi ternyata ini bahkan lebih dasar dari itu.
Lagipula, dalam beberapa tahun terakhir, satu-satunya orang yang pernah bermain game bersamaku hanyalah adikku.
Aku tidak menyangka bahwa sebelum sempat bermain melawan teman laki-laki, aku justru akan bermain dengan seorang gadis.
Kalau dibilang ini keuntungan, ya, memang begitu sih. Tapi… situasi macam apa ini!?
“Aku cuma mengetes kamu saja, tahu!”
Setelah menyadari kalau tadi dia memegangnya terbalik, Urakawa-san buru-buru mengucapkan kalimat itu, terdengar seperti alasan yang dibuat-buat.
Entah perasaanku saja atau tidak, tapi pipinya tampak sedikit memerah. Pemandangan yang cukup langka.
Tapi aku paham betul posisi diriku di sini.
Yang boleh menggoda adalah mereka yang siap digoda balik. Sementara aku? Jelas tidak siap.
Ini cuma masalah pengalaman, bukan lebih dari itu. Kalau aku bersikap sok menang sekarang, aku yakin akibatnya nanti bakal menyeramkan.
“──Jadi, itulah cara memainkannya. Singkatnya, kamu menabrak kotak dengan tanda ‘?’ untuk mendapatkan item, lalu gunakan tombol ini untuk menembakkannya. Ini adalah balapan mobil di mana kamu harus mengenai lawan dengan item sambil berusaha mencapai garis finis pertama.”
“Jadi intinya aku hanya perlu melempar kulit pisang dan cangkang berduri ke arahmu? Wah, ini bidang keahlianku banget.”
“Bidang keahlianmu sama sekali tidak ramah terhadap otaku!”
“Kelihatannya lebih mudah dari yang kuduga. Bagaimana kalau… kamu bisa mengalahkanku, aku akan mengabulkan satu permintaanmu?”
“Eh!?”
“Uwah, reaksi apa itu? Kok agak gimana gitu. Cowok tuh memang cepat banget mikirin hal semacam itu, ya.”
“Tidak, ini karena Urakawa-san tiba-tiba mengatakan hal aneh begitu! Aku tidak kepikiran hal-hal yang terlalu terbuka—”
“Aku cuma mengatakan ‘hal semacam itu’, lho. Kamu sendiri yang bawa-bawa soal ‘terlalu terbuka’ itu. Maksudnya apa, ya?”
Urakawa-san menatapku dengan mata menyipit tajam, seolah menembakku dengan tatapan dingin. Sial, kena jebak! Dia sengaja mengarahkan pembicaraan supaya aku keceplosan!
Rasanya aku bakal kalah terus kalau soal dipermainkan seperti ini...
“……Aku akan menebus kesalahanku dengan harakiri.”
“Tidak perlu sampai segitunya, tapi tetap saja, kamu kepikiran kan? Dasar mesum.”
“Ughhh…”
Itu tadi memang salahku karena lengah.
Tapi setidaknya, sepertinya Urakawa-san tidak benar-benar menghinaku—atau setidaknya aku berharap begitu. Lebih tepatnya, dia hanya menikmati menggodaku.
“Biar aku tegaskan, ya. Maksudku bukan yang aneh-aneh. Harus tetap dalam batas wajar, mengerti?”
“Itu sudah pasti. Tapi, beneran tidak apa-apa? Ini pertama kalinya buatmu, kan? Aku sih sudah lumayan terbiasa.”
“Tenang saja, aku bisa kok. Tapi kalau aku menang, kamu harus mengajak Omote-chan juga, ya?”
“Itu sih malah jadi keuntunganku…”
“Ah! Hitungan mundur! Balapannya sudah mau di mulai! Fokus, fokus!”
Urakawa-san tampak bersemangat. Ini sisi dirinya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dan dari titik ini, aku akan terus melihat banyak sisi baru darinya yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.
──Sesaat setelah balapan dimulai.
“Eh, tunggu, Otaku-kun kok cepat banget!? Rocket start? Eh, aku tidak dikasih tahu soal ini! Curang banget!”
──Pertengahan balapan. Tikungan tajam.
Aku merasakan sesuatu yang hangat dan lembut di salah satu lenganku.
Saat aku menoleh untuk melihat apa yang terjadi, ternyata tubuh Urakawa-san ikut miring saat dia mencoba berbelok di dalam permainan.
“U-uh, lenganku! Lengan kita bersentuhan!”
“Jangan ganggu, aku lagi fokus!”
Dengan ekspresi penuh tekad, Urakawa-san mencurahkan seluruh perhatiannya pada permainan. Akibatnya, dia sama sekali tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah condong ke arahku.
Eh, ehhh!?
──Menjelang akhir balapan. Aku berhasil menghindari serangan balik terakhir dari Urakawa-san.
“Haaah!? Kenapa yang baru saja kutabrak tidak kena!? Jangan menghindar dong!”
“Tunggu, sakit—eh, tidak sakit sih, tapi jangan serang langsung begitu dong!”
Dengan penuh protes, dia mulai memukul-mukul bahuku dengan kepalan tangan kecilnya.
Yah, reaksi seperti ini memang sering terjadi saat bermain game, kan?
──Setelah balapan berakhir. Urakawa-san finis di posisi terakhir.
“Aku… tidak kalah.”
Dia menundukkan kepala, tubuhnya gemetar halus.
Eh, tapi kalau finis di peringkat terakhir, bukankah itu jelas-jelas kekalahan?
“…Main sekali lagi!”
“Tidak, itu tidak mungkin.”
Kereta sudah hampir sampai di stasiun tempat Urakawa-san harus turun.
Kalau dihitung dari waktu yang tersisa, pertandingan kedua bakal sulit dilakukan.
“Hah? Jangan bilang kamu mau kabur setelah menang?”
Gairahnya belum mereda. Suaranya agak lebih besar dari sebelumnya, dan entah kenapa matanya terlihat sedikit berkaca-kaca.
Aku punya firasat buruk... Dan seperti biasa, firasat buruk selalu jadi kenyataan.
“Padahal aku cuma melakukan ini karena kamu yang mau, tapi sekarang malah...”
“Tunggu, Urakawa-san!?”
Pilihan kata! Terus, nuansanya juga!
Dengan mata berkaca-kaca dan pipi memerah, aku buru-buru menegur. Ini bahaya banget!!
Lagian, yang paling antusias buat main game tadi kan dia sendiri!
“Kamu sudah bikin aku jadi seperti ini (ketagihan game), terus tidak mau tanggung jawab (main sekali lagi)? Kamu keterlaluan.”
Begitu balapan berakhir, beberapa penumpang baru naik. Mereka tidak tahu kronologi yang sebenarnya, tapi sekarang tatapan mereka tertuju padaku.
Sorotan mata penuh kebencian. Seolah-olah aku ini musuh kaum wanita atau semacamnya. Sumpah, tatapan mereka menusuk banget!
“Tunggu, kita cuma main game barusan, kan!?”
“Kejam sekali kamu, Otaku-kun! Padahal aku serius, tapi kamu malah bilang ini cuma game...”
“Tolong, bisakah kamu diam saja!?”
Batas kesabaranku sudah hampir habis. Rasanya mentalku sudah tidak kuat lagi. Tapi entah bagaimana, doa dalam hatiku ini akhirnya terkabul...
Pengumuman kedatangan stasiun mulai terdengar di dalam gerbong.
Hah… ini dia, penyelamatku! Saat ini, ini benar-benar penyelamat!
“Tch.”
“Ah, barusan kamu mendecakkan lidah! Aku dengar jelas lho!”
“Tunggu saja saat kita bertemu lagi, Otaku-kun. Kamu harus siap-siap.”
Sepertinya kekalahan di game balapan tadi benar-benar bikin dia kesal. Dengan tatapan penuh dendam, dia menatapku sebelum akhirnya turun dari kereta.
Hmm? Dia kayaknya sempat bergumam sesuatu?
A-ku a-kan men-gha-jar-mu? ──Aku bakal di hajar habis-habisan!?
Eh, se-se-se-seram banget! Dendam seorang gal itu se-se-se-seram banget!
Rasa lega karena tiba di stasiun hanya bertahan sesaat. Lewat kaca jendela, aku masih mendapat tatapan mengancam.
Dengan tubuh gemetar, aku masih belum menyadari satu hal—
Bahwa sifat pantang menyerahnya Urakawa-san sudah kelewat batas.
PoV
Omotegawa Yui
“Oh, selamat pagi, Urakawa-san...”
“Reaksimu gampang ditebak. Kamu sebegitu inginnya bertemu Omote-chan?”
“Haua!?”
Otaku-kun yang menantikan kemunculan Sang Gadis Suci, kini kena serangan mendadak tanpa ampun.
Kamu kira ini Omote-chan? Sayang sekali, ini Ura-chan!
“Maaf ya. Yang datang malah gadis gal cantik dengan kaki panjang seperti model.”
Sejujurnya, reaksi saat tidak bisa bertemu Omote-chan itu agak rumit.
Bagaimana cara menjelaskannya dengan tepat, ya?
Bukan cemburu, tapi rasanya agak mengganjal.
Seolah aku, Ura-chan, yang lebih dekat dengan jati diri aslinya, malah diabaikan begitu saja.
Laki-laki yang mencoba mengaitkannya dengan perasaan romantis sudah jelas tidak masuk hitungan, tapi tetap saja, kalau tidak dianggap sebagai seorang wanita, rasanya juga tidak menyenangkan.
Tapi sekarang, aku sama sekali tidak merasa seperti itu. Bagaimanapun, aku baru saja mendengar isi hatinya yang sebenarnya. Tidak kusangka dia memikirkanku seperti itu, ya.
Reaksi Otaku-kun yang mulai menyadari keberadaanku sebagai seorang wanita adalah—
“……Demi kewarasanku sendiri, bisakah kamu melupakan itu…?”
Ahaha, dia malu! Benar-benar kelihatan panik.
Mungkin ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan, tapi reaksi Otaku-kun ini benar-benar bisa membangkitkan keinginanku untuk diakui.
Alasan aku menggantikan Omote-chan dan naik ke gerbong ini, tentu saja, untuk mengucapkan terima kasih atas saputangan itu.
Sebenarnya, aku berencana mengatakannya sambil menatap matanya langsung, tapi—
“…Ini, terima kasih.”
Tanpa sadar, aku malah mengalihkan pandanganku.
Hal seperti ini seharusnya dilakukan dengan benar, tapi ternyata lebih memalukan dari yang kubayangkan!
Padahal aku berniat mengucapkan terima kasih dengan lebih santai, tapi…!
Tidak, bukan begitu. Oh, aku paham sekarang. Ini kebalikan dari biasanya.
Omote-chan, yang selalu bertingkah sebagai putri keluarga Omotegawa Group, sebenarnya adalah sisi “luar” dirinya. Aneh memang, tapi peran itu bisa dia mainkan dengan mudah.
Sebagai seorang putri bangsawan, dia sudah terbiasa bersikap elegan seperti bernapas saja. Tapi di luar itu, dia hampir tidak pernah melakukannya.
Dengan kata lain, sekarang aku berada dalam keadaan yang paling mendekati diriku yang sebenarnya. Mungkin itulah sebabnya ini terasa begitu memalukan.
Sepertinya suasana aneh ini juga menular ke Otaku-kun.
Dia terlihat malu, menggaruk bagian belakang kepalanya dengan canggung.
Tidak, tidak, suasana seperti ini tidak bagus untuk kita berdua! Biasanya kan kamu selalu jadi bahan ledekanku, jadi setidaknya kali ini, balaslah dan jahili aku balik!
Saat aku berusaha mempertahankan alur percakapan, topiknya akhirnya bergeser ke warna saputangan.
“Karena omote dan ura itu artinya ‘depan’ dan ‘belakang’, aku pikir akan cocok kalau warna kalian juga kontras.”
“Omote-chan yang seperti malaikat cocok dengan warna putih. Jadi maksudmu aku ini iblis yang pakai warna hitam? Hei, kamu ngajak ribut?”
“Berbeda denganku yang plin-plan, kamu selalu cepat dalam mengambil keputusan dan bertindak. Yang paling penting, kamu punya prinsip yang kuat… Jadi, kupikir warna hitam cocok untuk gadis keren dan berwibawa sepertimu.”
Eh, seriusan kamu bilang itu sekarang? Beneran nih?
Jangan-jangan ini sengaja? Apa-apaan ini, kamu lagi merayuku atau gimana?
Aku hampir saja salah paham, tapi sayangnya, ucapannya sama sekali tidak bernuansa romantis, jadi justru makin bikin bingung.
Kalau kupikir-pikir, orang-orang yang pernah memuji diriku sebagai Ura-chan, yang merupakan jati diriku sebenarnya, hanyalah segelintir orang terdekat. Aku tidak punya daya tahan untuk hal ini.
Kalau sebagai Omote-chan, aku sudah terlalu sering mendapat pujian, jadi tinggal pasang senyum bisnis saja.
Ah, ini bikin malu. Gawat. Aku harus segera mengembalikan suasana ke seperti biasa!
“Oh iya, aku dengar sesuatu, lho. Katanya Omote-chan sendiri yang memintamu jadi sampel rakyat jelata?”
“Ya. Berkatmu, aku sekarang diminta langsung oleh Sang Gadis Suci untuk jadi teman ngobrolnya.”
“Hebat, dong.”
“Iya! Aku benar-benar senang!”
Bodoh! Jangan menatapku dengan senyum polos seperti itu!
“Ugh, senyum lebar seperti itu… tolong jangan di tunjukkan kepadaku.”
“Eh, kenapa?”
“…Itu… aku tidak bisa mengatakannya.”
“Kenapa tidak!? Aku malah lebih suka kalau kamu terus terang!”
“Aduh, dasar lamban. Kamu sama sekali tidak peka, ya. Sifat kayak gitu beneran jahat, tahu tidak?”
“Bagian yang mana...?”
“Ya bagian itu!”
Aku menunjuk Otaku-kun yang masih saja memiringkan kepalanya dengan bingung.
Dasar tidak peka! Aku nggak mungkin bilang kalau senyummu barusan ternyata lebih manis dari yang kubayangkan!!!
“Lupakan itu. Kamu harusnya jadi teman ngobrol Omote-chan, kan? Rencana mau ngobrolin apa?”
Sekejap, sikap Otaku-kun langsung berubah drastis.
Karena dia tipe yang tidak bisa menyembunyikan sesuatu, pujian tadi benar-benar mengena. Tapi kali ini, justru sifat itu malah jadi bumerang buatnya.
“──Tentang situasi dunia belakangan ini, mungkin?”
“Kenapa tiba-tiba ngomongin itu?”
Kalau mau mengarang alasan, setidaknya buat yang lebih masuk akal, dong? Itu parah banget, tahu!
“……”
Eh, dia malah diam!?
Sepertinya aku harus memberinya sedikit pelajaran. Waktunya mengeluarkan jurus andalanku—Teknik Intimidasi Gal!
Siapa pun yang kena ini… pasti bakal ngaku!
“Hah?”
Karena dia terlalu enggan bicara, aku sempat curiga kalau itu sesuatu yang mesum. Tapi ternyata bukan.
Yang dia keluarkan malah… sebuah konsol game.
Serius!? Serius, serius, serius!? Ohhh~~ keren juga!
Mungkin dia memilih ini sebagai alat bantu karena kurang percaya diri dalam berkomunikasi, tapi jujur saja, ini adalah pilihan yang sempurna.
Karena terlalu terkejut dengan perkembangan yang tak terduga ini, tanpa sadar aku malah berkata—
“Aku belum pernah bermain game sebelumnya. Dari dulu selalu ingin coba setidaknya sekali.”
“Aku?”
TIDAK! SALAH! Bukan itu maksudku! Bisa tidak pura-pura tidak dengar!? Ah, tidak mungkin, ya. Dia jelas-jelas menatapku penuh curiga.
Aduh, aku keterlaluan! Padahal sudah berusaha keras supaya tidak ketahuan, tapi karena terlalu antusias, aku malah terpeleset.
Haruskah aku sekalian bongkar semuanya…?
Pikiran itu sempat melintas di benakku, tapi aku langsung sadar kalau aku tidak mau.
Aku ingin mempertahankan hubungan nyaman seperti ini lebih lama lagi.
“T-tentu saja maksudku adalah Omote-chan yang belum pernah main game sebelumnya.”
Aku memaksa untuk menggiring pembicaraan ke arah itu.
Memegang konsol game untuk pertama kalinya terasa benar-benar baru bagiku.
Saat aku membolak-balik benda itu dengan rasa ingin tahu—
“Uhm, pertama-tama, cara pegangnya seperti ini, lalu tombol power ada di sini—“
Otaku-kun dengan santai mulai menjelaskan cara memegang, menyalakan, dan mengoperasikan konsol itu.
Tanpa mencoba menyentuh tanganku, tanpa ada kontak fisik yang aneh.
Dia juga tidak menertawakan saat aku memegangnya terbalik, apalagi mengejekku.
Padahal aku sering sekali menggodanya sesuka hati, tapi dia tetap seperti ini!?
Tolong, bisakah kamu berhenti jadi otaku gentleman tanpa sadar!? Dan satu lagi, FYI, aku sudah tahu kalau tadi aku memegangnya terbalik dan di mana letak tombol powernya, oke!?
Game yang dipilih Otaku-kun ternyata balapan mobil. Intinya, siapa yang mencapai garis finis lebih dulu menang.
Sepertinya di game ini, pemain bisa saling menyerang dan dihalangi dengan berbagai item.
Setelah memahami cara bermainnya, aku langsung kepikiran ide sempurna untuk menggodanya.
“Kelihatannya lebih mudah dari yang kuduga. Bagaimana kalau… kamu bisa mengalahkanku, aku akan mengabulkan satu permintaanmu?”
“Eh!?”
“Uwah, reaksi apa itu? Kok agak gimana gitu. Cowok tuh memang cepat banget mikirin hal semacam itu, ya.”
“Tidak, ini karena Urakawa-san tiba-tiba mengatakan hal aneh begitu! Aku tidak kepikiran hal-hal yang terlalu terbuka—“
“Aku Cuma bilang ‘hal semacam itu’, lho. Kamu sendiri yang bawa-bawa soal ‘terlalu terbuka’ itu. Maksudnya apa, ya?”
“…Aku akan menebus kesalahanku dengan harakiri.”
“Tidak perlu sampai segitunya, tapi tetap saja, kamu kepikiran kan? Dasar mesum.”
“Ughhh…”
Pfft, ‘terlalu terbuka’? Apa itu sih? Hahaha, agak bikin ilfeel, lho~
Si korban jebakan tampaknya sedang menyesali diri habis-habisan. Padahal kita mau mulai main game, jadi jangan malah murung begitu. Santai saja, aku Cuma bercanda, kok!
Sementara itu, hitungan mundur di layar sudah dimulai.
Dan hasilnya adalah… INI SERU BANGET!!!
Aku tidak menyangka game bisa sebegitu mengasyikkan! Aku benar-benar terbawa suasana!
Tapi di saat yang sama… ini juga bikin kesal. Oke, aku memang baru pertama kali main game balapan, tapi tetap saja, kena posisi terakhir itu menyakitkan!
Aku bahkan tidak bisa mengenai siapa pun dengan cangkang atau kulit pisang!
“…Main sekali lagi!”
“Tidak, itu tidak mungkin.”
Kupikir dia bakal langsung setuju, tapi ternyata dia malah menolak!?
Aku tahu dia bukan bermaksud jahat atau apa.
Soalnya, kita sebentar lagi sampai di stasiun.
Tapi justru ketenangannya itu yang malah bikin aku gatal ingin mengusiknya lebih jauh.
“Padahal aku cuma melakukan ini karena kamu yang mau, tapi sekarang malah...”
“Tunggu, Urakawa-san!?”
Dengan cepat, aku mengaktifkan mode aktris dalam diriku.
Aku membuat mataku tampak sedikit berkaca-kaca dan berpura-pura terengah-engah, seolah habis melalui sesuatu yang intens.
Tentu saja, aku juga sengaja meninggikan suara supaya orang-orang di sekitar mulai melirik ke arah kami.
Kasihan deh, Otaku-kun.
Sayangnya buatmu, aku juga punya bakat di bidang akting.
“Kamu sudah bikin aku jadi seperti ini (ketagihan game), terus tidak mau tanggung jawab (main sekali lagi)? Kamu keterlaluan.”
Jurus pamungkas! Tatapan menghakimi dari para wanita!
Dengan lihai, aku memanfaatkan para penumpang yang tidak tahu apa-apa untuk menusukkan pandangan penuh kecaman ke dada Otaku-kun.
Kalau mau menyalahkan seseorang, salahkan dirimu sendiri yang tidak membiarkan seorang pemula menikmati kemenangan pertamanya!
“Tunggu, kita Cuma main game barusan, kan!?”
“Kejam sekali kamu, Otaku-kun! Padahal aku serius, tapi kamu malah bilang ini cuma game...”
Dan masuk perangkap! Aku sudah memprediksi tanggapannya yang lemah itu sejak awal!
“Tolong, bisakah kamu diam saja!?”
Terpojok, Otaku-kun akhirnya mendesak dengan suara nyaris putus asa.
Sayangnya buat dia, aku belum berniat untuk berhenti… atau begitulah rencananya, sampai tiba-tiba—
Pengumuman kedatangan stasiun terdengar.
Seriusan!? Sekarang!? Ini benar-benar kabar buruk!
Sial, aku lagi di puncak keseruan, terus malah dipotong begitu saja!?
“Tch.”
“Ah, barusan kamu mendecakkan lidah! Aku dengar jelas lho!”
“Tunggu saja saat kita bertemu lagi, Otaku-kun. Kamu harus siap-siap.”
Masih merasa belum puas menggoda dia, aku pun turun dari kereta dengan perasaan setengah hati.
Tapi aku masih belum bisa move on. Aku tetap menatap tajam ke arahnya, seolah ingin mengukir dendam ini dalam ingatannya.
Tanpa suara, aku menggerakkan bibirku perlahan, membentuk kata-kata yang mudah dibaca:
“(A-ku a-kan men-gha-jar-mu)”
Kamu pikir aku bakal membiarkanmu kabur dengan kemenangan begitu saja?
Jangan senang dulu, ya! Begitu kita bertemu lagi, aku bakal menghajarmu habis-habisan!
Siapkan dirimu baik-baik, Otaku-kun!
Previous Chapter| ToC |Next Chapter
Komentar
Posting Komentar