Chapter 3 Vol 1 Ura Gyaru-chan no Adobaisu wa 100-Pāsento Ataru. "Datte Kimi no Suki na Seijo-sama, watashi no Koto Dakara ne."
Chapter 3
PoV
Tsuchiya Bunta
Di dalam kereta saat perjalanan pulang setelah selesai kerja paruh waktu.
Aku mengeluarkan saputangan yang kupinjam dari sang gadis suci, memastikan lagi bahwa itu bukan ilusi.
Kucubit pipiku, terasa sakit yang nyata. Indera perasaanku normal. Artinya, ini adalah kenyataan.
...Aku senang ini bukan mimpi, tapi di sisi lain, aku juga berharap ini hanyalah mimpi!!
Pemandangan tadi pagi terlintas kembali di pikiranku seperti kilatan cahaya.
Yang jelas, aku telah menarik perhatian semua orang.
Kalau saja aku adalah pria tampan yang tenang dan menawan, pemandangan tadi pasti terlihat seperti adegan dalam cerita romantis.
Tapi kenyataannya? Nafas tersengal-sengal, tubuh penuh keringat, berbicara cepat dengan gugup seperti otaku, sampai-sampai aku pun tidak tahan melihatnya sendiri!
Ditambah lagi, percakapan kami bukannya seperti permainan lempar tangkap bola, melainkan seperti dodgeball.
Sakit...! Terlalu memalukan...!
Keputusan terburuk yang kuambil adalah menerima saputangan itu.
Bukan, sebenarnya aku sendiri yang bilang akan mencucinya dan mengembalikannya, tapi yang membuatku khawatir adalah kemungkinan dia berpikir aku hanya mencari alasan untuk bertemu lagi.
Padahal saat itu aku benar-benar hanya merasa sangat bersalah.
Namun, seiring waktu berlalu dan aku bisa melihat situasinya secara objektif... rasanya seperti satu masalah selesai, muncul masalah baru lagi.
Kira-kira apa yang dipikirkan sang gadis suci tentangku saat pertama kali kami bertemu?
Apakah aku terlihat seperti otaku menjijikkan yang tidak bisa menyembunyikan niat buruknya di saat-saat terakhir?
Tapi, apa mungkin dia mau memberikan saputangannya pada orang seperti itu? Walaupun aku tidak bisa mengatakan ini dengan lantang, saputangannya wangi, dan sejujurnya aku rasa tidak sampai mengganggu.
Dengan kata lain, aku ingin percaya bahwa setidaknya dia menganggap aku “orang yang tidak masalah jika diajak bicara”.
...Aku bisa bertemu lagi dengan sang gadis suci.
Saat membayangkan pemandangan itu, senyum kecil pun muncul tanpa kusadari.
Dari sana, menjadi semakin akrab dan akhirnya jatuh cinta──tidak, aku tidak membayangkan kelanjutan seperti itu.
Kalau sampai membayangkan hal itu, aku benar-benar akan jadi orang yang menyedihkan. Dalam hidupku, tidak akan ada akhir seperti dalam dongeng bersama sang gadis Suci.
Hanya saja, jika diizinkan, aku ingin terus diberi kesempatan untuk sekedar melihatnya lagi.
Dan kalau boleh sedikit mengajukan keinginan──,
“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
“──Aku Cuma berpikir, akan menyenangkan kalau kami bisa sampai pada hubungan di mana kami bisa saling menyapa atau ngobrol santai... Hah, siapa itu!?”
Kenapa belakangan ini, situasi seperti ini sering sekali terjadi!?
Aku buru-buru menoleh ke arah suara itu, dan di sana berdiri seorang gadis gal yang menatapku dengan pandangan lembap yang tidak kalah dari hutan hujan tropis.
Ini sudah ketiga kalinya kami bertemu seperti ini.
Anehnya, aku mulai terbiasa dengan situasi ini.
“Oh, ternyata kamu, Urakawa-san.”
“Hah? Apa-apaan reaksi itu!? Dasar otaku, sok santai dan terbiasa seperti itu, berani sekali kamu!”
Dia menunjukkan ekspresi cemberut, lalu langsung duduk di kursi di sebelahku dengan gerakan yang cepat.
Dia terlalu cepat bertindak. Lagipula, aku belum bilang kalau dia boleh duduk di sebelahku, kan?
Sepertinya dia sekarang bahkan tidak repot-repot meminta izin.
“Uhh, bukankah ini terlalu dekat...?”
Lagi-lagi lengan atas kami hampir bersentuhan. Hal seperti ini jelas tidak mungkin bisa kubiasakan!
“Kalau mau terbiasa denganku, itu masih butuh 13 miliar tahun cahaya lagi!”
“Ukuran itu salah, tahu.”
“Eh, kamu malah berbicara seperti itu? Kalau begitu aku kasih tahu ya, jarak hati antara aku dan kamu, si otaku, itu sejauh itu juga.”
“Kamu membenarkan yang satu itu dengan cara yang kejam!?”
“Berani melawanku? Itu juga masih 13 miliar tahun cahaya terlalu cepat buatmu. Mengerti?”
“Benar sekali. Aku sangat menyesal, jadi tolong maafkanku.”
“Bagus. Tidak ada masalah. Hukumannya: pemenggalan kepala.”
“Kenapa tidak ada ampun sama sekali!?”
Setelah berkata sejauh itu, Urakawa-san menatapku dengan senyum yang jelas menunjukkan betapa dia menikmati situasi ini.
Dengan ekspresi seperti kucing yang baru saja menemukan ikan, mulutnya membentuk huruf ω dan berkata,
“Dengar-dengar, kamu menunjukkan sisi jantanmu, ya?”
“Jangan bilang kamu melihatnya!?”
“A-anu, ini, k-kamu menjatuhkannya.”
“────!!”
Saat aku bereaksi dengan begitu dramatis, Urakawa-san langsung menunjukkan ekspresi seolah-olah dia baru saja menemukan hiburan terbaik abad ini.
Dengan senyuman licik, dia tampak sangat berniat untuk menggodaku habis-habisan.
Urakawa-san itu gal yang baik hati pada otaku? Omong kosong! Siapa yang menyebarkan rumor seperti itu!?
Dia adalah gal yang jadi iblis bagi otaku!
“Sudah, tolong hentikan! Aku sendiri juga merasa itu keterlaluan... Tapi tunggu, apa kamu benar-benar melihatnya!?”
Ugh, wajahku panas. Aku serius berpikir mungkin bisa merebus air di atas kepalaku saat ini.
Aku menutupi wajahku dengan tangan, mencoba menyembunyikan wajah yang mungkin sudah memerah seperti tomat.
“Tidak, bukan begitu. Aku mendengarnya dari Omote-chan. Dia sudah memberitahuku sebelumnya kalau Otaku-kun mencoba mengajak bicara lebih dulu.”
“Ah, jadi begitu...”
Aku mulai menyusun kronologi kejadian itu di dalam pikiranku.
Sudah jelas, yang mengatur situasi tadi adalah Urakawa-san.
Dia yang mendorongku yang hampir melarikan diri, menyampaikan informasi kepada sang gadis suci yang membuatku penasaran, dan berusaha keras untuk menyelesaikan salah paham di antara kami.
Karena Urakawa-san dan sang gadis suci cukup dekat, wajar saja kalau dia menanyakan, “Bagaimana hasilnya?”
Tidak aneh kalau gadis gal di depanku, yang hobi menggodaku, tahu semua detail tentang kejadian pagi tadi.
“Kuberi tahu saja, aku yang──”
“──aku mengerti kok.”
“Eh?”
Karena aku memotong ucapannya tanpa mendengarkan sampai selesai, Urakawa-san, yang jarang sekali terkejut, kini tampak bingung.
Tapi, meskipun dia belum selesai bicara, aku sudah bisa membayangkan maksudnya.
“Jadi maksudmu, soal kejadian pagi tadi itu, kamu yang memaksa untuk mendengar ceritanya, dan bukan karena sang gadis suci suka membocorkan rahasia atau sembrono, kan? Kamu cuma mengingatkan supaya aku tidak salah paham dan membencinya. Tenang saja, aku bukan anak kecil, kok.”
“……Heh. Ternyata kamu mengerti juga, ya.”
Dari ekspresi yang awalnya rumit dan sulit dibaca, akhirnya muncul sedikit senyum yang menunjukkan bahwa dia sedikit senang.
Aku menghela nafas panjang,
“~~~~~~~~~~Haa...”
Aku tahu ini pasti terkesan seperti anak yang minta perhatian, tapi... Urakawa-san ini, meskipun terlihat gal, ternyata gal yang perhatian dan suka membantu.
Jujur saja, aku memang ingin dia mendengarkan ceritaku.
“Eh, eh. Kenapa tiba-tiba begitu?”
“Ah, tidak, kupikir aku, ya, kelihatannya memang seperti yang terlihat. Seharusnya aku bisa menyampaikan dengan cara yang lebih baik. Dengan begitu, rasanya seperti berjalan di atas jarum, apalagi ada saksi yang melihat, semoga tidak ada gosip buruk tentang sang gadis suci.”
“Dengan cara kamu mengatakannya seperti itu, seolah-olah kamu tidak masalah kalau dipandang buruk, ya?”
“Penilaian terhadapku sudah paling rendah dari awal, jadi tidak masalah.”
“Eh, maaf deh.”
“Tapi, sang gadis suci itu, tahu sendiri, sekolahnya itu bergengsi, kan? Cuma dengan seragamnya saja, sudah jelas. Yang aku lakukan itu tindakan mengganggu yang tidak peduli dengan sekeliling.”
“Jadi, pada akhirnya yang paling penting itu Omote-chan, ya?”
“Iya, benar, itu sudah pasti.”
Urakawa-san tersenyum lebar. Kalau harus dibilang, seperti anak yang menemukan mainan baru, senyumnya seperti itu.
“Yah, dari apa yang kamu ceritakan...”
“Dari apa yang aku ceritakan?”
“Itu benar-benar menganggu, kan?”
“Ugh...!”
Aku rasa itu adalah salah satu kelebihan Urakawa-san, bisa langsung mengucapkan hal yang sulit untuk dikatakan dengan tegas.
Kalau harus diibaratkan... seperti ditusuk di titik vital dengan senjata tajam. Rasa sakitnya datang begitu cepat, bahkan sebelum sempat merasakan sakitnya, sudah selesai.
Tapi, aku benar-benar merasa sakit, lho. Di dadaku.
“Tapi, setidaknya kamu tidak lari dan berhasil menyelesaikannya, menurutku itu bukan hal yang buruk. Tapi ya, siapa tahu.”
“Siapa tahu!?”
Eh, eh, ini bukan hiburan sama sekali, lho!?
“Kurang puas? Kalau begitu──baiklah, kamu sudah berusaha dengan keras. Otaku-kun. Anak yang luar biasa.”
“Urakawa-san!?”
“Ngomong-ngomong, ada yang ingin aku tanyakan, itu saputangan──”
Ngomong-ngomong!? Santai sekali cara berpikirnya!
Sepertinya sejak awal perhatian Urakawa-san sudah tertuju pada saputangan Sang Gadis Suci yang sempat aku keluarkan.
Aku buru-buru menyembunyikannya di saku seragamku, tapi sudah terlambat.
Di sini, tiba-tiba saja ada sebuah pertanyaan.
Q: Apa yang menanti seorang karakter pendukung yang kelemahannya ditemukan oleh seseorang yang jauh lebih unggul?
A: Dihajar habis-habisan.
“──Saputangan?”
“Ah, jadi kamu berpura-pura tidak tahu?”
“Aku siapa? Ini di mana? Eh, kamu siapa?”
“Kamu malah melanjutkan! Dan tiba-tiba amnesia! Ini terlalu berlebihan!”
“Sepertinya lebih baik membuatku beristirahat sampai ingatanku kembali. Kalau dipaksa mengingat, bisa-bisa ada efek samping.”
“Eh, dari perspektif siapa itu!? Dokter? Jangan-jangan kamu merasa jadi dokter? Ah, sudah deh, menyerahlah! Saputangan sehalus ini jelas bukan milikmu, Otaku-kun! Itu punya Omote-chan, kan?”
“Ugh...!”
Sepertinya Urakawa-san sudah tahu sejauh mana Sang Gadis Suci memberitahunya.
Karena dia, pasti sudah menggali informasi itu sampai habis.
Mungkin dia akan merahasiakan kalau aku sempat meluncurkan kata “imut”, tapi selain itu──.
Apa ini tidak berbahaya?
Meskipun aku sudah dianggap tidak berbahaya oleh Urakawa-san, aku tetap menjadi objek pengamatannya.
Kalau dia mencurigai ada niat tersembunyi berupa “ingin mengajak bicara lagi” di balik alasan “mencuci dan mengembalikan”──.
“Dengar-dengar, kamu sampai diusap keringatnya, ya? Harusnya kamu merasa bersyukur! Soalnya, jumlah laki-laki yang ingin Omote-chan melakukan itu untuk mereka sebanyak bintang di langit, tahu?”
“Itu... iya. Aku benar-benar sangat berterima kasih.”
“Terus? Coba jelasin kenapa saputangan itu ada di tanganmu.”
Urakawa-san mendekatkan tubuhnya sedikit demi sedikit.
Akhirnya, dia menanyakan pertanyaan yang paling aku khawatirkan. Intonasinya terdengar seperti sedang menginterogasi, dan aku yakin itu bukan sekadar perasaanku saja.
“Karena aku mengotori itu, kupikir sudah sepatutnya aku mencucinya sebelum mengembalikannya.”
“Hmm. Cuma itu saja?”
Tidak diragukan lagi, Urakawa-san sudah mencium sesuatu.
Saat itu, niatku murni berasal dari rasa bersalah, tetapi sekarang aku menyadari bahwa aku senang dan berharap bisa berbicara lagi dengan sang gadis suci.
Setelah menyadari perasaan ini, aku tahu bahwa dengan keterbatasanku dalam bersosialisasi, tidak mungkin aku bisa berpura-pura.
Mungkin lebih baik aku mengaku semuanya.
“Sejujurnya, aku mendapati diriku menantikan hari esok...”
“Jadi, itu artinya kamu menggunakan ini sebagai alasan untuk mendekati Omote-chan lagi?”
“…Ya. Aku tidak bisa menyangkalnya.”
Tentu saja, dengan catatan bahwa ini adalah perasaan yang muncul sekarang.
Tapi, alasan yang dibuat-buat hanya akan berdampak buruk. Di sini, aku harus mengaku dengan jujur.
“Otaku-kun, kamu sebenarnya ingin menjadi seperti apa ke depannya?”
Pertanyaan inti lagi. Tapi, jawabannya sudah jelas bagiku.
“Kalau bisa, um… aku ingin mencoba menyapa dan mengobrol santai.”
Ugh... rasanya aku ingin masuk ke dalam lubang dan menghilang!
Seperti pria berbaju merah yang mengecil setelah menabrak jamur.
Aku tahu, Urakawa-san yang selama ini sudah berhasil mengusir “serangga-serangga jahat” tidak akan bisa ditipu dengan kebohongan atau alasan yang dibuat-buat. Maka, aku memilih untuk jujur secara langsung.
Tapi, mungkin aku tidak akan bisa menghindari “vonis bersalah” atas pengakuanku ini.
Lagipula, aku diakui tidak berbahaya karena selama ini tahu diri.
Dan sekarang, aku telah mengungkapkan keinginan untuk “lebih dekat”. Jujur saja, aku takut dengan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya setelah ini.
“Setelah berbicara dengannya hari ini, apa kamu jadi berpikir, ‘Mungkin aku punya kesempatan’ gitu? Mulai salah paham?”
“Tidak! Aku tidak sebegitu percaya diri! Hanya saja──”
“──Hanya saja?”
“Kalau bisa berbicara dengannya, aku merasa hari-hariku akan jadi lebih menyenangkan. Yah, pada akhirnya ini cuma soal egoisnya diriku, sih.”
Padahal aku tidak pandai olahraga, tapi hanya dengan bisa melihatnya sekali saja, aku bisa bertahan menjalani pekerjaan mengantar koran.
Kalau saja aku bisa berbicara dengannya secara santai…
Meskipun setelah lulus kami kembali menjadi orang asing, aku yakin kenangan itu akan tetap melekat dalam diriku seumur hidup.
Aku sangat sadar kalau ini adalah harapan yang terlalu tinggi, tapi tetap saja…
“…Aku ini kan, cukup dekat dengan Omote-chan.”
“Eh? Ah, ya. Sepertinya begitu. Kenapa tiba-tiba ngomong begitu?”
“Dasar tidak peka. Cowok yang tidak peka itu tidak bakal disukai, tahu.”
“Dalam kasusku, sekalipun peka, tetap saja tidak bakal disukai.”
“Itu benar.”
“Tolong bantah dong!”
Begini jadinya kalau aku mencoba bercanda dengan menyindir diri sendiri. Siapa yang menyangka dia akan setuju begitu saja?
Apa-apaan sih gal ini? Jelas-jelas nggak ramah sama otaku! Apa nggak terlalu dingin begitu?
“Omote-chan itu anak orang kaya, tahu.”
“Berbeda banget sama kamu kalau dilihat sekilas saja, ya.”
“Ah?”
Karena aku diserang, aku mencoba balas menyerang, tapi akhirnya mendapat tatapan balik seratus kali lebih tajam.
Tolong hentikan, Urakawa-san, itu benar-benar mempan untukku.
Atas nama seluruh otaku di penjuru negeri, izinkan aku memberi pesan:
Jangan pernah melawan gal! Kecuali kamu mau mati muda!
“Itu cuma bercanda kok. Hahaha.”
“Kalau tadi serius, mungkin akar rambutmu sudah habis sekarang.”
“Keterlaluan banget!”
Aku memprotes sekuat tenaga, tapi Urakawa-san malah dengan sengaja melirik ke puncak kepalaku.
“Ah, maaf. Sepertinya aku tidak perlu repot-repot melakukannya. Apa jangan-jangan kamu sudah khawatir soal itu?”
“Sudah habis total!? Padahal kukira baru akan mulai di usia akhir tiga puluhan!”
“Kenapa terasa realistis banget... Tunggu, jadi kamu sudah menganggap bakal botak di masa depan?”
“Ugh...! Informasi rahasiaku berhasil kamu curi dengan begitu mudah. Jangan-jangan kamu ini mata-mata!?”
“Tidak, salah besar. Aku tidak peduli soal kondisi akar rambutmu. Maaf kalau menghancurkan semangatmu, tapi boleh tidak kita balik ke topik semula?”
“Kenapa terdengar seperti aku yang ingin mengubah topik! Baiklah, cepat kembali ke pembahasan!”
Aku memprotes mati-matian, sementara Urakawa-san malah tersenyum santai. Setelah membersihkan tenggorokannya, dia berkata,
“Baik, kembali ke topik ya─ Omote-chan itu ada sisi polos yang tidak tahu banyak tentang dunia luar.”
“─Ah, begitu. Jadi, hal seperti itu memang ada ya.”
Dalam manga, sosok putri dari keluarga kaya yang terlalu dilindungi memang sering muncul. Kupikir itu hanya klise, tapi ternyata nyata.
Semakin menyadarkanku kalau dunia kami memang berbeda.
“Tapi, kenapa cerita seperti itu disampaikan kepadaku─?”
Aku tidak bisa menangkap maksud dari perkataan Urakawa-san, dan saat aku masih mencoba mencerna semuanya, dia melanjutkan,
“Dia itu tidak terlalu paham soal kehidupan orang biasa, jadi sering kali terlihat ceroboh dan berbahaya.”
“Kehidupan orang biasa!”
Kalimat yang luar biasa kuat muncul! Kehidupan orang biasa! Luar biasa!
“Soal sesama perempuan, sih, aku bisa mengajarinya. Tapi kalau soal lawan jenis, ya... tetap lebih baik kalau dia belajar mengalaminya langsung.”
“Hah, haah...? Maksudnya...?”
Aku berusaha keras memahami maksudnya, tapi otakku yang pas-pasan ini gagal menemukan jawabannya.
Mungkin karena kesal, Urakawa-san menghela napas panjang, lalu berkata,
“Haaah~~!? Udah aku jelasin segini panjangnya, masih tidak nyambung juga!?”
“Mana aku paham! Informasinya terlalu sedikit, kan!? Lagipula, awalnya gimana ceritanya sampai kita bahas ini!?”
“Putri dari keluarga terpandang yang kurang pengalaman, dan anak rakyat jelata yang ingin mengajak dia ngobrol. Jawaban dari kombinasi itu cuma ada satu, tahu!”
“Aku tidak paham!”
Aku tidak menyangka bakal keluar respons segalak ini dari mulutku sendiri. Jujur, aku kaget dengan diriku.
Urakawa-san mengernyitkan dahinya, lalu menambahkan penjelasan, seakan aku anak kecil yang butuh dipandu.
“Jadi, maksudku! Aku ingin Omote-chan mengerti bagaimana sih laki-laki dari kalangan rakyat biasa itu. Kalau kamu tetap jadi laki-laki yang sopan dan beradab, aku bakal pakai kamu sebagai contoh buat dia.”
“EEEEEHHHHHHHHHHHHHHH!?”
Begitu aku menyadari isi usulan yang dia sampaikan secara tidak langsung, aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahku.
Tentu saja, itu sudah jelas!
Putri bangsawan yang naif, seorang gadis suci.
Aku, yang tidak berbahaya, ingin berbicara dengannya.
Dan Urakawa-san, seorang gadis gal, ingin mengajarkan perilaku rakyat jelata (terutama laki-laki) kepada gadis suci itu.
Benar-benar sebuah trinitas. Kepentingan kami bertiga selaras dengan sempurna.
“1) Orang biasa. 2) Tidak mencoba menjalin hubungan asmara. 3) Lawan jenis. Mencari sampel yang memenuhi ketiga syarat itu sungguh sulit.”
Memang, jika dilihat dari syarat itu, mungkin aku memenuhi standar minimal.
Tidak diragukan lagi, yang paling membuat Urakawa-san pusing adalah poin nomor 2.
Terutama dengan penampilannya yang seperti itu.
“Apa aku tidak kurang memenuhi syarat untuk itu?”
“Tentu saja kamu kurang memenuhi syarat!”
“Jawaban langsung! Eh, kalau bisa, tolong berbohong sedikit untuk menyangkalnya, dong!?”
“Aku ini perempuan yang tidak bisa berbohong (dengan tegas).”
“Serangan lanjutan yang tak terduga!”
“Atau bagaimana? Apa kamu mau penilaian Omote-chan terhadapmu tetap seperti lumpur busuk ini!?”
“Dia menganggapku lumpur busuk!?”
Fakta yang mengejutkan! Senyum lembutnya saat bilang aku aneh dan menarik ternyata diiringi dengan penilaian yang kejam!
Tidak, tunggu. Ini kan kata-kata dari Urakawa-san. Dia pasti sedang mencoba menyemangatiku.
Ya, pasti begitu, kan, Tuhan!?
“Coba pikirkan baik-baik. Kamu, sebagai subjek yang menjadi sumber hiburan, bisa berbicara dengan seseorang yang kamu kagumi sekaligus melatih dirimu untuk lebih terbiasa berinteraksi dengan perempuan. Di sisi lain, dia bisa belajar memahami cara berpikir dan perilaku laki-laki biasa—seorang rakyat jelata—melalui kamu. Sementara aku, bisa memastikan sahabatku memperluas wawasannya dalam batas pengawasanku. Dan sebagai bonus spesial kali ini, penawarannya benar-benar luar biasa murah hati.”
“Penawaran luar biasa...?”
“Kalau kamu tetap bersikap sopan kepada Omote-chan, aku akan memberimu nasihat.”
Sikap sopan di sini maksudnya adalah peringatan untuk tidak mencoba mengubah hubungan ini menjadi sesuatu yang romantis.
Aku mengerti maksudnya, jadi tak perlu menekankan hal itu berulang kali.
Namun, lebih dari itu...
“Nasihat, maksudnya?”
“Seperti, hal-hal yang disukai Omote-chan, misalnya.”
“!?”
Hei, siapa yang bilang kalau Urakawa-san itu iblis bagi para otaku! Itu salah besar!
Dia ini terlalu baik hati pada otaku!
“Jadi, bagaimana? Kalau kamu bisa membuat Omote-chan senang, kamu bakal lebih terasah sebagai laki-laki, dan itu tidak buruk, kan? Tapi tentu saja, aku tidak akan memaksamu. Keputusan ada di tanganmu.”
Dengan ekspresi serius, Urakawa-san menatapku dengan tajam.
Kenyataan memang lebih aneh dari fiksi.
Hidup sederhana yang kujalani tiba-tiba diwarnai oleh kesempatan tak terduga seperti ini.
Hidup ini memang benar-benar penuh kejutan.
“Ada dua hal yang ingin aku konfirmasi dan janjikan terlebih dahulu.”
“Bilang saja. Aku akan mendengarnya.”
“Apakah sang gadis suci tahu soal ini? Kalau ini hanya keputusan sepihak dari Urakawa-san, aku pikir lebih baik──”
“Heh, menurutmu aku sudah bersama Omote-chan berapa tahun, sih?”
Urakawa-san berkata dengan nada setengah kesal. Sepertinya dia langsung bisa menebak maksud pertanyaanku tentang apakah sang gadis suci setuju dengan usulan ini atau tidak.
“S-sekitar sepuluh tahun mungkin?”
“Tujuh belas tahun, tahu!”
“Itu kan berarti sejak lahir!? Jangan-jangan kalian bahkan lahir di rumah sakit yang sama!?”
“...... Apa kamu serius? Tidak. Kamu memang beneran serius, ya.”
“????”
Aku tidak mengerti maksudnya! “Kamu serius?” Serius soal apa!?
Ah, tunggu, mungkin maksudnya, “Kamu beneran meragukannya?” Itu maksudnya, kan!?
Sang gadis suci dan Urakawa-san benar-benar seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Mereka saling memahami sampai sedalam itu.
Dengan kata lain, ini jelas bukan keputusan sepihak.
Ini adalah saran yang dibuat dengan memastikan dan menghormati perasaan sang gadis suci terlebih dahulu!
“Tenang saja, aku sudah memahaminya dengan baik!”
“...Mungkin—atau lebih tepatnya, jelas kamu tidak paham, tapi sudahlah. Justru itu lebih menarik. Jadi? Tentang janji itu maksudnya apa?”
Urakawa-san terlihat seperti belum sepenuhnya puas.
Apa aku barusan melakukan kesalahan lagi? Aku tidak ingat pernah bereinkarnasi ke dunia lain, sih...
Kalau dibilang aku tidak penasaran, itu bohong. Tapi kalau dia sendiri bilang tidak apa-apa, memaksa lebih jauh rasanya tidak sopan.
Lagipula, aku baru saja belajar bahwa menentang seorang gadis gal bukanlah ide yang baik.
“Aku tidak mau ini jadi sebuah kewajiban.”
“Hah? Maksudnya apa? Jelasin lebih detail.”
“Mulai sekarang, aku akan menjalani peran sebagai sampel. Sambil mensyukuri keberuntungan ini, aku berniat menjalankan tugasku dengan baik.”
“Ya, kamu paham situasinya dengan baik.”
“Kalau sang gadis suci merasa bosan, atau bahkan sampai berpikir tidak ingin berbicara denganku lagi, aku ingin dia segera memutuskan hubungan ini.”
“Maksudmu dibunuh?”
“Maksudku peran sampel ini dihentikan!”
“Oh, begitu. Jangan mengatakannya dengan cara yang membingungkan. Aku sempat berpikir kamu minta dipenggal sebagai bentuk tanggung jawab.”
“Kamu tidak serius, kan!? Kalau beneran, aku bakal jaga jarak dari kamu, Urakawa-san!”
“Tenang, tenang. Jadi, alasan di balik permintaanmu itu apa?”
“Karena sang gadis suci itu orangnya baik, kan? Ah, tidak, kalau dibilang begitu jadi terdengar seperti aku sok tahu. Menurutku dia baik. Tapi karena aku yang memulai peran ini untuk membantunya, dia mungkin bakal merasa tidak enak hati untuk menghentikannya. Jadi, kalau dia merasa ada yang tidak nyaman atau aneh, aku ingin dia tidak memaksakan diri untuk tetap melanjutkannya. Bisa janji untuk itu?”
“──Lolos. Yah, nilai pas-pasan sih.”
Ketegangan mencair. Otot wajah Urakawa-san terlihat mulai mengendur.
“Lalu,”
“Lalu apa?”
“Bagaimanapun, berbicara dengan Urakawa-san juga menyenangkan. Jujur saja, ini seperti mimpi yang jadi kenyataan.”
“...Apa-apaan ini, kamu sedang merayuku?”
“Menurutmu aku bisa melakukan hal seperti itu?”
“Tidak mungkin.”
“Itulah kenapa aku minta jangan langsung menjawab begitu... Lagipula, aku kan tidak punya teman.”
“Aku tidak tahu, dan jujur saja, aku juga tidak mau tahu!”
“Aku tahu kalau di balik tindakan Urakawa-san ini ada sang gadis suci, tapi tetap saja, bisa berbicara seperti ini cukup menyenangkan. Maksudku, terima kasih karena sudah jadi teman bicara untukku.”
Urakawa-san berdiri tegak.
Aku khawatir apakah aku mengatakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, tapi ekspresi wajahnya tetap datar seperti poker face yang sulit dibaca.
Mungkinkah pengakuanku sebagai seseorang yang tidak punya teman terlalu menyedihkan untuk didengar?
Sebentar lagi, kereta akan sampai di stasiun tempat Urakawa-san turun. Pengumuman mulai terdengar.
“Masih belum aku dengar, tahu?”
“Belum dengar? Eh, maksudnya apa?”
“Tentu saja soal apakah kamu mau menerima peran sebagai sampel atau tidak. Kalau kamu benar-benar serius dan memohon dengan sepenuh hati, aku akan menunjukmu sebagai sampel.”
Benar juga, aku belum benar-benar memohon!
Kesempatan ini bukan hanya untuk sekadar melihat sang gadis suci dari dekat, tapi juga untuk bisa berbicara santai dengannya.
Meskipun gaya bercandanya kadang sedikit menyakitkan, ini juga merupakan peluang ganda: mendapatkan perhatian dari seorang gal dalam posisi mentor.
Ini adalah momen yang tak boleh dilewatkan. Bagi seseorang sepertiku yang tidak punya teman, kereta ini—perjalanan pergi dan pulang sekolah—adalah satu-satunya hal yang memberi warna dan semangat dalam kehidupan sehari-hariku yang monoton!
Aku harus serius. Ini saatnya menunjukkan tekadku.
Baiklah. Aku akan melakukannya. Aku pasti bisa, Tsuchiya Bunta!
Mungkin karena masih terbawa semangat pagi tadi, aku memutuskan untuk mengungkapkan keinginanku menjadi sampel kepada Urakawa-san sesaat sebelum dia turun dari kereta.
“Aku ingin melakukannya! Tolong izinkan aku, Urakawa-san! Jadikan aku seorang laki-laki sejati!”
Setelah aku mengucapkan kalimat itu, yang menyambutku bukanlah senyum malaikat seperti milik sang gadis suci, melainkan senyum iblis dari Urakawa-san.
Ada apa ini? Kenapa rasanya aneh? Seolah-olah aku baru saja masuk ke dalam perangkap yang tak kusadari.
Aku mungkin berharap untuk dipuji dengan, “Kamu hebat!” Tapi aku sama sekali tidak menyangka akan menerima senyuman jahat seperti itu.
Saat aku masih kebingungan, tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi, dia berkata,
“Mesum.”
Setelah melontarkan kata itu, Urakawa-san pergi meninggalkan gerbong kereta.
Selanjutnya, semua tatapan tajam terasa mengarah kepadaku.
Mari coba memahami situasinya.
Aku, yang jelas-jelas terlihat seperti seorang otaku, memohon kepada Urakawa-san, yang jelas-jelas seorang gal. Dan itu terjadi di dalam kereta.
“Aku ingin melakukannya! Tolong izinkan aku, Urakawa-san! Jadikan aku seorang laki-laki sejati!”
Karena terlalu fokus, aku sama sekali tidak memperhatikan volume suaraku, tapi mungkin suaraku cukup keras untuk terdengar oleh semua orang.
Bagi para penumpang, kata “melakukan” yang aku ucapkan mungkin terdengar seperti “MELAKUKAN” dalam arti yang salah.
Aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh!!!!
Aku benar-benar melakukannya! Aku benar-benar membuat kesalahan besar! Dengan ini, siapa pun yang melihat pasti mengira aku adalah murid laki-laki yang memohon untuk kehilangan keperjakaannya!
Tidaaaaaaaaaaaakkkkkk!!!!
Dan setelah itu, ingatanku—hilang.
Tsuchiya melihat dunia di depannya berubah menjadi gelap gulita!
PoV
Omotegawa Yui
“~♪”
Super Berubah! Ura-chan!
Suara seperti “gyarurun” terdengar menggema, cocok menggambarkan mode “Ura” ini.
Aku memandang diriku yang terpantul di cermin dan berpikir. Penampilanku yang berubah drastis ini benar-benar menakutkan, bahkan menurutku sendiri.
Ketika aku mendekati si Otaku-kun, pandanganku tertuju padanya yang sedang menatap saputangan yang kuberikan pagi ini.
Oh, hoh... hoh hoh hoh. Kamu benar-benar terlihat sangat lengah, ya.
Seekor hewan herbivora yang sedang menunggu di depan pemangsa dengan saus di tubuhnya, itulah gambaran yang terlintas di pikiranku.
“Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
“──Aku Cuma berpikir, akan menyenangkan kalau kami bisa sampai pada hubungan di mana kami bisa saling menyapa atau ngobrol santai... Hah, siapa itu!?”
Dengan gerakan yang terdengar seperti “gurin,” Otaku-kun memutar kepalanya dengan cepat.
Begitu dia melihatku...
“Oh, ternyata kamu, Urakawa-san.”
Ah, aah────────!!
Apa-apaan itu! Kamu benar-benar berani berbicara santai seperti itu? Tidak banget! Otaku-kun, tidak banget!
Baiklah, aku akan menggodamu. Aku akan menggodamu sampai kamu paham!
Dengan begitu, aku pun menuju kursi di sebelah Otaku-kun.
“Uhh, bukankah ini terlalu dekat...?”
Oya Oya, Suaramu terdengar gemetar, ya? Jauh berbeda dari reaksimu barusan.
Berbeda dengan “Omote-chan,” pakaian ini lebih terbuka, jadi mungkin terlalu menggoda untukmu? Maaf, tapi aku tidak akan menunjukkan belas kasihan.
“Kalau mau terbiasa denganku, itu masih butuh 13 miliar tahun cahaya lagi!”
“Ukuran itu salah, tahu.”
“Eh, kamu malah berbicara seperti itu? Kalau begitu aku kasih tahu ya, jarak hati antara aku dan kamu, Otaku-kun, itu sejauh itu juga.”
“Kamu membenarkan yang satu itu dengan cara yang kejam!?”
“Berani melawanku? Itu juga masih 13 miliar tahun cahaya terlalu cepat buatmu. Mengerti?”
“Benar sekali. Aku sangat menyesal, jadi tolong maafkanku.”
“Bagus. Tidak ada masalah. Hukumannya: pemenggalan kepala.”
“Kenapa tidak ada ampun sama sekali!?”
Ahaha, seperti biasa, kamu selalu memberikan tanggapan di saat yang tepat.
Aku, yang benar-benar kehilangan semangat untuk membalas, hanya bisa tersenyum kecil sambil menahan tawa.
Terlalu kejam? Ya, mungkin memang begitu.
“Dengar-dengar, kamu menunjukkan sisi jantanmu, ya?”
“Jangan bilang kamu melihatnya!?”
“A-anu, ini, k-kamu menjatuhkannya...”
“Sudah, tolong hentikan! Aku sendiri juga merasa itu keterlaluan... Tapi tunggu, apa kamu benar-benar melihatnya!?”
Aku melihatnya menutupi wajah dengan kedua tangan, wajahnya memerah.
Oh? Ini... agak lucu, mungkin...? Lelaki yang mendekati [Omote]-ku biasanya selalu penuh percaya diri.
Melihat sisi seperti ini dari seorang laki-laki terasa begitu segar bagiku.
“Tidak, bukan begitu. Aku mendengarnya dari Omote-chan. Dia sudah memberitahuku sebelumnya kalau Otaku-kun mencoba mengajak bicara lebih dulu.”
“Ah, jadi begitu...”
“Kuberi tahu saja, aku yang──”
“──aku mengerti kok.”
“Eh?”
“Jadi maksudmu, soal kejadian pagi tadi itu, kamu yang memaksa untuk mendengar ceritanya, dan bukan karena Sang Gadis Suci suka membocorkan rahasia atau sembrono, kan? Kamu cuma mengingatkan supaya aku tidak salah paham dan membencinya. Tenang saja, aku bukan anak kecil, kok.”
Oh, bagus juga. Yang barusan itu menurutku cukup menarik, lho?
Memang sih, sama sekali tidak nyambung, tapi kesalahpahaman seperti itu tidak buruk juga.
“……Heh. Ternyata kamu mengerti juga, ya.”
~~~~~~~~~~Haa...”
Rasa kagum itu hanya sesaat, lalu dari mulutnya meluncur sebuah helaan napas berat.
“Eh, eh. Kenapa tiba-tiba begitu?”
“Ah, tidak, kupikir aku, ya, kelihatannya memang seperti yang terlihat. Seharusnya aku bisa menyampaikan dengan cara yang lebih baik. Dengan begitu, rasanya seperti berjalan di atas jarum, apalagi ada saksi yang melihat, semoga tidak ada gosip buruk tentang Sang Gadis Suci.”
“Dengan cara kamu mengatakannya seperti itu, seolah-olah kamu tidak masalah kalau dipandang buruk, ya?”
“Penilaian terhadapku sudah paling rendah dari awal, jadi tidak masalah.”
“Eh, maaf deh.”
“Tapi, sang gadis suci itu, tahu sendiri, sekolahnya itu bergengsi, kan? Cuma dengan seragamnya saja, sudah jelas. Yang aku lakukan itu tindakan mengganggu yang tidak peduli dengan sekeliling.”
“Jadi, yang paling penting itu Omote-chan, ya.”
“Eh, ya, itu sudah jelas, sih.”
Oh, sudah sewajarnya ya? Begitu, huh. Tapi kalau kamu mengatakannya dengan begitu santai...
Ah, gawat.
Aku mungkin tanpa sadar tersenyum karena senang. Kalau dipikir-pikir, ini situasi yang luar biasa, kan?
Orangnya sendiri sedang mendengar secara langsung perasaan yang ditujukan padanya.
“Dengar-dengar, kamu sampai diusap keringatnya, ya? Harusnya kamu merasa bersyukur! Soalnya, jumlah laki-laki yang ingin Omote-chan melakukan itu untuk mereka sebanyak bintang di langit, tahu?”
“Itu... iya. Aku benar-benar sangat berterima kasih.”
“Terus? Coba jelasin kenapa saputangan itu ada di tanganmu.”
“Karena aku mengotori itu, kupikir sudah sepatutnya aku mencucinya sebelum mengembalikannya.”
“Hmm. Cuma itu saja?”
“Sejujurnya, aku mendapati diriku menantikan hari esok...”
“Jadi, itu artinya kamu menggunakan ini sebagai alasan untuk mendekati Omote-chan lagi?”
“…Ya. Aku tidak bisa menyangkalnya.”
Otaku-kun yang mengakui niat tersembunyinya dengan begitu mudah hingga terasa antiklimaks.
Mungkin, kalau melihat kepribadiannya—meskipun cara mengatakannya begitu seolah aku paham segalanya, yang agak menyebalkan—awalnya dia mengatakan itu karena merasa bersalah.
Tapi seiring waktu, dia mulai tenang kembali dan merasa bisa mengobrol lagi, bukan begitu?
Sepertinya aku perlu memastikan sekali lagi apakah dia punya perasaan romantis atau tidak.
Kalau dia memang melihatku sebagai lawan jenis, cara berinteraksi juga harus berubah, kan?
“Otaku-kun, kamu sebenarnya ingin menjadi seperti apa ke depannya?”
“Kalau bisa, um… aku ingin mencoba menyapa dan mengobrol santai.”
“Setelah berbicara dengannya hari ini, apa kamu jadi berpikir, ‘Mungkin aku punya kesempatan’ gitu? Mulai salah paham?”
“Tidak! Aku tidak sebegitu percaya diri! Hanya saja──”
“──Hanya saja?”
“Kalau bisa berbicara dengannya, aku merasa hari-hariku akan jadi lebih menyenangkan. Yah, pada akhirnya ini cuma soal egoisnya diriku, sih.”
~~~~~~Aah, serius, dia itu terlalu polos.
Bukan soal cinta atau semacamnya, dia Cuma ingin ngobrol. Tipe seperti itu sudah hampir punah, kan?
Fakta bahwa dia tidak terburu-buru juga meninggalkan kesan yang baik.
Sejujurnya, selama dia tidak tiba-tiba berubah drastis, aku mulai merasa kalau obrolan ini masih belum cukup.
Sebenarnya, sejak kejadian saputangan pagi ini, aku sudah banyak berpikir.
Tapi, karena usulan ini akan menjadi langkah lebih jauh, aku ingin memastikan dulu apakah dia benar-benar seseorang yang layak.
Namun, setelah melihat tatapan matanya yang penuh impian seperti anak kecil itu...
Mempercepat rencanaku rasanya bukan masalah. Ya, ini tidak bisa dihindari.
“…Aku ini kan, cukup dekat dengan Omote-chan.”
“Eh? Ah, iya. Sepertinya begitu. Kenapa tiba-tiba ngomong begitu?”
“Dasar tidak peka. Cowok yang tidak peka itu tidak bakal disukai, tahu.”
“Dalam kasusku, sekalipun peka, tetap saja tidak bakal disukai.”
“Itu benar.”
“Tolong bantah dong!”
“Omote-chan itu anak orang kaya, tahu.”
“Berbeda banget sama Urakawa-san kalau dilihat sekilas saja, ya.”
“Ah?”
Tapi aku orang yang sama, lho?
“Itu cuma bercanda kok. Hahaha.”
“Kalau tadi serius, mungkin akar rambutmu sudah habis sekarang.”
“Keterlaluan banget!”
Otaku-kun langsung menanggapi dengan penuh semangat.
Melihat reaksi yang kuharapkan justru membuatku semakin terhibur.
Dengan sengaja, aku menatap puncak kepalanya dan...
“Ah, maaf. Sepertinya aku tidak perlu repot-repot melakukannya. Apa jangan-jangan kamu sudah khawatir soal itu?”
“Sudah habis total!? Padahal kukira baru akan mulai di usia akhir tiga puluhan!”
“Kenapa terasa realistis banget... Tunggu, jadi kamu sudah menganggap bakal botak di masa depan?”
“Ugh...! Informasi rahasiaku berhasil kamu curi dengan begitu mudah. Jangan-jangan kamu ini mata-mata!?”
“Tidak, salah besar. Aku tidak peduli soal kondisi akar rambutmu. Maaf kalau menghancurkan semangatmu, tapi boleh tidak kita balik ke topik semula?”
“Kenapa terdengar seperti aku yang ingin mengubah topik! Baiklah, cepat kembali ke pembahasan!”
Ahaha! Kamu selalu merespons tepat seperti yang kuharapkan. Mungkinkah kita sebenarnya cocok? Seperti dua orang yang benar-benar nyambung?
“Baik, kembali ke topik ya─ Omote-chan itu ada sisi polos yang tidak tahu banyak tentang dunia luar.”
“─Ah, begitu. Jadi, hal seperti itu memang ada ya.”
“Dia itu tidak terlalu paham soal kehidupan orang biasa, jadi sering kali terlihat ceroboh dan berbahaya.”
“Kehidupan orang biasa!”
“Soal sesama perempuan, sih, aku bisa mengajarinya. Tapi kalau soal lawan jenis, ya... tetap lebih baik kalau dia belajar mengalaminya langsung.”
“Hah, haah...? Maksudnya...?”
Otaku-kun mengernyitkan dahinya. Serius? Masih belum mengerti juga?
“Haaah~~!? Udah aku jelasin segini panjangnya, masih tidak nyambung juga!?”
“Mana aku paham! Informasinya terlalu sedikit, kan!? Lagipula, awalnya gimana ceritanya sampai kita membahas ini!?”
“Putri dari keluarga terpandang yang kurang pengalaman, dan anak rakyat jelata yang ingin mengajak dia ngobrol. Jawaban dari kombinasi itu Cuma ada satu, tahu!”
“Aku tidak paham!”
Orang ini…! Dia benar-benar mau membuat seorang gadis mengatakannya sampai tuntas!
Aah, serius, benar-benar lamban dalam menangkap maksud!
“Jadi, maksudku! Aku ingin Omote-chan mengerti bagaimana sih laki-laki dari kalangan rakyat biasa itu. Kalau kamu tetap jadi laki-laki yang sopan dan beradab, aku bakal pakai kamu sebagai contoh buat dia.”
“EEEEEHHHHHHHHHHHHHHH!?”
Fufu, terkejutlah sepuasnya.
Tak perlu dirahasiakan, inilah strategiku yang sesungguhnya!
Dengan menunjuk Otaku-kun sebagai sampel rakyat jelata, aku bisa memastikan dia tidak bisa lari dan tetap bisa menggodanya untuk bersenang-senang. Aku jenius, bukan?
“1) Orang biasa. 2) Tidak mencoba menjalin hubungan asmara. 3) Lawan jenis. Mencari sampel yang memenuhi ketiga syarat itu sungguh sulit.”
“Apa aku tidak kurang memenuhi syarat untuk itu?”
“Tentu saja kamu kurang memenuhi syarat!”
“Jawaban langsung! Eh, kalau bisa, tolong berbohong sedikit untuk menyangkalnya, dong!?”
“Aku ini perempuan yang tidak bisa berbohong (dengan tegas).”
“Serangan lanjutan yang tak terduga!”
“Atau bagaimana? Apa kamu mau penilaian Omote-chan terhadapmu tetap seperti lumpur busuk ini!?”
“Dia menganggapku lumpur busuk!?”
Otaku-kun itu, mendapatkan semangat hanya dengan melihat Omote-chan sekali saja, bukan?
Jadi, menurutku wajar kalau aku juga berhak menikmati interaksi seperti tadi.
Otaku-kun merasa terhibur denganku, sementara aku bisa bersenang-senang dengan menggodanya.
Saling menguntungkan. Tidakkah menurutmu ini bisa menjadi hubungan yang setara?
“Coba pikirkan baik-baik. Kamu, sebagai subjek yang menjadi sumber hiburan, bisa berbicara dengan seseorang yang kamu kagumi sekaligus melatih dirimu untuk lebih terbiasa berinteraksi dengan perempuan. Di sisi lain, dia bisa belajar memahami cara berpikir dan perilaku laki-laki biasa—seorang rakyat jelata—melalui kamu. Sementara aku, bisa memastikan teman dekatku memperluas wawasannya dalam batas pengawasanku. Dan sebagai bonus spesial kali ini, penawarannya benar-benar luar biasa murah hati.”
“Penawaran luar biasa...?”
“Kalau kamu tetap bersikap sopan kepada Omote-chan, aku akan memberimu nasihat.”
“Nasihat, maksudnya?”
“Seperti, hal-hal yang disukai Omote-chan, misalnya.”
“!?”
Otaku-kun menatapku seolah-olah sedang melihat seorang penyelamat.
Terlihat terlalu jelas.
Dengar ya, nasihat dariku itu sangat ampuh, lho?
Ya jelas saja. Omote-chan dan Ura-chan itu orang yang sama, kan?
“Jadi, bagaimana? Kalau kamu bisa membuat Omote-chan senang, kamu bakal lebih terasah sebagai laki-laki, dan itu tidak buruk, kan? Tapi tentu saja, aku tidak akan memaksamu. Keputusan ada di tanganmu.”
Otaku-kun menunjukkan ekspresi serius saat aku memeriksanya. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Ada dua hal yang ingin aku konfirmasi dan janjikan terlebih dahulu.”
“Bilang saja. Aku akan mendengarnya.”
“Apakah sang gadis suci tahu soal ini? Kalau ini hanya keputusan sepihak dari Urakawa-san, aku pikir lebih baik──”
“Heh, menurutmu aku sudah bersama Omote-chan berapa tahun, sih?”
“S-sekitar sepuluh tahun mungkin?”
“Tujuh belas tahun, tahu!”
“Itu kan berarti sejak lahir!? Jangan-jangan kalian bahkan lahir di rumah sakit yang sama!?”
“......Apa kamu serius? Tidak. Kamu memang beneran serius, ya.”
“????”
Wah, dia benar-benar kebingungan, dengan banyak tanda tanya di atas kepalanya.
Sudah bersama selama tujuh belas tahun.
Itu berarti Omote dan Ura adalah orang yang sama. Namun, Otaku-kun sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda menyadarinya.
Bahkan, katanya kita lahir di rumah sakit yang sama. Tentu saja itu tidak mungkin!
Benar-benar lamban, ya...
“Tenang saja, aku sudah memahaminya dengan baik!”
“...Mungkin—atau lebih tepatnya, jelas kamu tidak paham, tapi sudahlah. Justru itu lebih menarik. Jadi? Tentang janji itu maksudnya apa?”
“Aku tidak mau ini jadi sebuah kewajiban.”
“Hah? Maksudnya apa? Jelasin lebih detail.”
Aku sedikit memiringkan kepala mendengar tawaran mendadak itu.
Jujur saja, aku jadi berharap mendengar kata-kata berikutnya.
“Mulai sekarang, aku akan menjalani peran sebagai sampel. Sambil mensyukuri keberuntungan ini, aku berniat menjalankan tugasku dengan baik.”
“Ya, kamu paham situasinya dengan baik.”
“Kalau sang gadis suci merasa bosan, atau bahkan sampai berpikir tidak ingin berbicara denganku lagi, aku ingin dia segera memutuskan hubungan ini.”
“Maksudmu dibunuh?”
“Maksudku peran sampel ini dihentikan!”
“Oh, begitu. Jangan mengatakannya dengan cara yang membingungkan. Aku sempat berpikir kamu minta dipenggal sebagai bentuk tanggung jawab.”
“Kamu tidak serius, kan!? Kalau beneran, aku bakal jaga jarak dari kamu, Urakawa-san!”
Maaf, maaf, aku cuma bercanda. Rasanya menyenangkan melihatmu langsung bereaksi seperti itu, aku jadi kebawa suasana, hehe.
Tentu saja aku tidak serius, jadi tenang saja. Lagipula, aku juga penasaran dengan kelanjutannya.
“Tenang, tenang. Jadi, alasan di balik permintaanmu itu apa?”
“Karena sang gadis suci itu orangnya baik, kan? Ah, tidak, kalau dibilang begitu jadi terdengar seperti aku sok tahu. Menurutku dia baik. Tapi karena aku yang memulai peran ini untuk membantunya, dia mungkin bakal merasa tidak enak hati untuk menghentikannya. Jadi, kalau dia merasa ada yang tidak nyaman atau aneh, aku ingin dia tidak memaksakan diri untuk tetap melanjutkannya. Bisa janji untuk itu?”
“──Lolos. Yah, nilai pas-pasan sih.”
Otaku-kun benar-benar punya sifat yang merepotkan, ya. Padahal bisa saja diam-diam menerima peran sebagai sampel, tapi tetap saja, sang gadis suci yang jadi prioritas utamanya.
Haruskah disebut jujur atau keras kepala…?
Yah, justru itu yang membuatnya menarik. Aku jadi semakin sulit melepaskan perhatianku darinya.
Sementara aku tersenyum puas dalam hati, dia melanjutkan pembicaraannya.
“Lalu,”
“Lalu apa?”
“Bagaimanapun, berbicara dengan Urakawa-san juga menyenangkan. Jujur saja, ini seperti mimpi yang jadi kenyataan.”
Berhenti jadi pembunuh wanita tanpa sadar, dong…!
Saat berhadapan dengan Omote-chan, dia begitu gugup dan kikuk, tapi sekarang begini.
Benar-benar menyebalkan. Yang paling parah? Dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
“...Apa-apaan ini, kamu sedang merayuku?”
“Menurutmu aku bisa melakukan hal seperti itu?”
“Tidak mungkin.”
“Itulah kenapa aku minta jangan langsung menjawab begitu... Lagipula, aku kan tidak punya teman.”
“Aku tidak tahu, dan jujur saja, aku juga tidak mau tahu!”
“Aku tahu kalau di balik tindakan Urakawa-san ini ada sang gadis suci, tapi tetap saja, bisa berbicara seperti ini cukup menyenangkan. Maksudku, terima kasih karena sudah jadi teman bicara untukku.”
Hei, tunggu! Dilarang memasang senyum polos seperti anak kecil yang sedang bersenang-senang!
Curang banget, deh. Unconscious pure itu benar-benar curang.
(TLN : Unconscious Pure adalah seseorang yang tanpa sadar bersikap polos atau murni)
…Tunggu, bukankah ini jadi terasa sepihak bagiku?
Sepertinya aku perlu melihat sedikit lebih banyak kesungguhan darinya.
“Masih belum aku dengar, tahu?”
“Belum dengar? Eh, maksudnya apa?”
“Tentu saja soal apakah kamu mau menerima peran sebagai sampel atau tidak. Kalau kamu benar-benar serius dan memohon dengan sepenuh hati, aku akan menunjukmu sebagai sampel.”
Otaku-kun menatapku dengan wajah serius, tanpa sedikit pun meragukan kata-kataku. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang diarahkan untuk mengeluarkan pernyataan yang konyol.
“Aku ingin melakukannya! Tolong izinkan aku, Urakawa-san! Jadikan aku seorang laki-laki sejati!”
Nyahaha! Ya, ini kemenangan total untukku~! Masih jauh, ya, Otaku-kun.
Yah, anggap saja ini sebagai balasan karena aku diperhatikan pagi ini.
Kalau merasa kesal, coba saja ajak aku ngobrol dengan benar saat mengembalikan saputangan nanti?
“Mesum.”
Aku turun dengan meninggalkan kata-kata pedas sebagai bekas.
Otaku-kun pasti sudah kehilangan warna wajahnya dan menjadi pucat pasi.
Ahaha, kira-kira reaksi apa yang akan dia tunjukkan besok? Baru saja berpisah, tapi aku sudah tidak sabar menantikannya.
Tanpa sadar, aku mungkin sudah ketagihan.
Jika itu benar-benar terjadi, dia harus bertanggung jawab.
Yah, meskipun itu cuma bercanda, aku tetap menantikannya besok, Otaku-kun. Adios!
Previous Chapter| ToC |Next Chapter
Komentar
Posting Komentar